I.
Agama Buddha Dan Ekonomi
1.1.Konsep
Dasar Pengembangan Ekonomi
Pengertian
Ekonomi
• Ekonomi berarti segala
usaha manusia dalam memenuhi kebutuhannya guna mencapai kemakmuran hidupnya.
(Novia. 2008: 182).
•
Konsep-konsep Dasar dalam
Pembangunan Ekonomi
Ekonomi Pembangunan
adalah cabang dari Ilmu Ekonomi yang bertujuan untuk menganalisis
masalah-masalah yang khususnya dihadapi oleh negara-negara sedang berkembang
dan mendapatkan cara-cara untuk mengatasi masalah-masalah itu, supaya
negara-negara tersebut dapat membangun ekonominya dengan lebih cepat lagi.
Tujuan dari analisis ekonomi pembangunan adalah untuk: menelaah faktor-faktor
yang menimbulkan keterlambatan pembangunan khususnya di negara-negara sedang
berkembang, mengemukakan cara pendekatan yang dapat ditempuh untuk mengatasi
masalah-masalah yang dihadapi, sehingga dapat mempercepat jalannya pembangunan
ekonomi khususnya di negara-negara tersebut. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu:
sangat kompleksnya masalah pembangunan, banyaknya faktor yang mempengaruhi
keberhasilan pembangunan dan banyaknya faktor yang terpengaruh oleh
pembangunan, ketiadaan teori-teori pembangunan yang dapat menciptakan suatu
kerangka dasar dalam memberikan gambaran mengenai proses pembangunan ekonomi.
Pembangunan ekonomi
didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan perkapita
penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka panjang, disertai dengan
perubahan ciri-ciri penting suatu masyarakat, yaitu perubahan dalam keadaan
sistem politik, struktur sosial, nilai-nilai masyarakat dan struktur kegiatan
ekonominya. Tujuan pembangunan ekonomi pada prinsipnya dapat dikelompokkan
menjadi dua, yaitu: menaikkan produktivitas dan menaikkan pendapatan perkapita.
Beberapa manfaat yang dapat dirasakan oleh masyarakat maupun perekonomian
antara lain adalah: output atau kekayaan suatu masyarakat atau perekonomian
akan bertambah, kebahagiaan penduduk bertambah, menambah kesempatan untuk
mengadakan pilihan yang lebih luas, memberikan manusia kesempatan yang lebih
besar untuk memanfaatkan alam sekitar, memberikan kebebasan untuk memilih
kesenangan yang lebih luas, mengurangi jurang perbedaan antara negara-negara
yang sedang berkembang dengan negara-negara yang sudah maju. Kerugian-kerugian
dari pembangunan ekonomi adalah: mendorong seseorang untuk berpikir maupun
bertindak lebih mementingkan diri sendiri, mendorong seseorang lebih bersifat
materialistis, sifat hidup gotong royong yang pada umumnya terdapat di
negara-negara sedang berkembang semakin berkurang, sifat kekeluargaan dan
hubungan keluarga semakin berkurang.
•
Permasalahan Dasar Pembangunan Ekonomi di Negara Sedang Berkembang
Ada tiga
permasalahan dasar/pokok yang dihadapi oleh negara sedang berkembang. Tiga
permasalahan tersebut adalah sebagai berikut: berkembangnya ketidakmerataan
pendapatan, kemiskinan, gap atau jurang perbedaan yang semakin lebar antara
negara maju dengan negara sedang berkembang.
Beberapa faktor yang
menyebabkan terjadinya ketidakmerataan distribusi pendapatan di negara sedang
berkembang, menurut Irma Adelman & Cynthia Taft Morris adalah sebagai
berikut: menurunnya pendapatan per kapita, inflasi, ketidakmerataan pembangunan
antar daerah, investasi yang sangat banyak dalam proyek-proyek yang padat modal
(capital intensive), sehingga persentase pendapatan modal dari harta tambahan
lebih besar dibandingkan dengan persentase pendapatan yang berasal dari kerja.
Hal ini mengakibatkan pengangguran bertambah, rendahnya mobilitas sosial,
pelaksanaan kebijaksanaan industri substitusi impor yang mengakibatkan kenaikan
harga-harga barang hasil industri untuk melindungi usaha-usaha golongan
kapitalis, memburuknya nilai tukar (term of trade) negara sedang berkembang
dalam perdagangan dengan negara-negara maju, sebagai akibat ketidakelastisan
permintaan negara-negara maju terhadap barang-barang ekspor negara sedang
berkembang, hancurnya industri-industri kerajinan rakyat, seperti pertukangan,
industri rumah tangga dan lain-lain. Kemiskinan ditimbulkan oleh dua hal,
yaitu: kemiskinan yang bersifat alamiah atau kultural, dan kemiskinan yang
disebabkan oleh miskinnya strategi dan kebijakan pembangunan yang ada, yang
biasa disebut dengan kemiskinan struktural.
Di samping beberapa
karakteristik di atas, ada beberapa faktor lain yang merupakan penghambat bagi
pembangunan ekonomi di negara sedang berkembang antara lain adalah: dualisme
ekonomi, iklim tropis, kebudayaan yang tidak ekonomis, produktivitas rendah,
jumlah kapital yang sedikit, perdagangan luar negeri dan ketidaksempurnaan
pasar.
Faktor-faktor
Yang Mempengaruhi Pembangunan Ekonomi
a. Faktor Alam
a. Faktor Alam
Khusus
bagi Negara sedang berkembang, kekayaan alam sangat berpengaruh terhadap
jalannya pembangunan ekonomi. Sebagian besar Negara sedang berkembang bertumpu
pada kekayaan alamnya dalam melaksanakan pembangunan ekonominya. Namun perlu
diingat bahwa kekayaan alam yang berlimpah saja belum menjamin keberhasilan
pembangunan ekonomi apabila tidak diikuti dengan kemampuan mengelola. Selain
itu, perlu juga diingat bahwa kekayaan alam yang dieksploitasi semakin lama
semakin habis. Oleh karena itu, perlu perhitungan dengan cermat didalam
mengelola kekayaan alam yang dimiliki. Faktor-faktor yang dimaksud antara lain
kesuburan tanah, kekayaan mineral, tambang, kekayaan hasil hutan, dan kekayaan
lain.
b. Faktor Teknologi dan Alam
Kemajuan teknologi dapat mendukung lebih cepatnya
pelaksanaan perkembangan ekonomi. Kemajuan teknologi yang diikuti dengan
kemampuan investasi akan semakin mempercepat laju perkembangan ekonomi suatu
Negara. Kemajuan teknologi dapat mempengaruhi
1.efisiensi produksi
2.peningkatan kualitas produksi
c. Faktor Budaya
1.efisiensi produksi
2.peningkatan kualitas produksi
c. Faktor Budaya
Faktor
ini dapat berfungsi sebagai motivator atau pendorong pelaksanaan pembangunan,
tetapi dapat juga menjadi penghambat pembangunan. Budaya dapat berfungsi
sebagai pendorong apabila adat istiadat atau kehidupan tradisi masyarakat dapat
menunjang pembangunan, misalnya masyarakat yang berpola hidup hemat berarti
akan mempercepat terbentuknya investasi. Invetasi ini pada gilirannya akan
mempercepat pembangunan itu sendiri. Contohnya kerja keras, jujur dan ulet.
Namun ada juga faktor budaya yang bersifat sebagai penghambat, misalnya boros
dan malas bekerja.
Khusus
di Negara sedang berkembang, selain ketiga faktor tersebut diatas masih
terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi pembangunan atau perkembangan ekonomi,
yaitu:
a. Rendahnya Kualitas Tenaga Kerja
a. Rendahnya Kualitas Tenaga Kerja
Pada umumnya Negara berkembang
kualitas tenaga kerja masih rendah sehingga tingkat produktivitasnya rendah.
Oleh sebab itu, pada Negara berkembang perlu adanya pelatihan tenaga kerja,
peningkatan pendidikan, baik kualitas maupun kuantitasnya. Hal ini mengingat
pada Negara berkembang rata-rata laju pertambahan penduduk yang pesat, padahal
jumlah penduduk yang besar belum tentu berdampak positif pada pembangunan
ekonomi, bahkan pada Negara berkembang jumlah penduduk yang besar umumnya
berdampak negatif.
b. Rendahnya Daya Beli Masyarakat
Akibat rendahnya daya beli
masyarakat Negara berkembang, hasil produksi tidak lancar dikonsumsi. Hal ini
akan berakibat terhambatnya perluasan produksi. Kesempatan produsen untuk
memasarkan hasil produksinya sangat terbatas atau dengan kata lain luas pasar
hasil produksinya sempit sehingga keuntungan produsen kecil dan pada gilirannya
produsen enggan untuk memperluas usahanya.
1.2.Konsep Ekonomi Dalam Agama Buddha
Banyak orang bekerja keras tetapi
tidak bisa menjamin kebutuhannya. Diantaranya, seperti hasil pemantauan Kepala
Dinas P & K Jawa Tengah, banyak guru yang menjadi setres karena kondisi
ekonominya yang kurang mencukupi. Produktivitas seorang guru, atau pegawai
negeri umumnya, yang telah bekerja keras secara halal pada jam kerja, tidak
dengan sendirinya langsung meningkatkan penghasilan. Lain alnya produktivitas
seorang pengusaha atau wiraswasta dapat segera mempengaruhi tingkat
perolehanya.
Kebanyakna orang bekerja mendapatkan uang. Dalam proses
dilapangan bersaing selain mendaptkan uang sebanyak-banyaknya tapi juga ego pun
semakin besar pula. Tetapi bagi orang yang bekerja sebagai amal ibadah atau
demi suatu pengabdian, yang bertujuan menyempurnakan diri (menempurnakan
paramita). Menurut Hukum Kamma, barang siapa yang menanam maka cepat atau
lambat ia akan memetik atau mendapatkan hasil dari kamma baik. Jika yang
ditanam tersebut adalah perbuatan bajik, tetapi jika menanam perbuatan jahat
maka yang diperoleh adalah penderitaan.
Orang
yang mengejar kekayaan hanya untuk mendapatkan kebahagiaan dengan membuat orang
lain bahagia. Hal itu bisa dilakukan, seperti yang terdapat di dalam Anguttara
Nikaya V, 4:41, yaitu ”kekayaan diperoleh karena bekerja denagn giat, dikumpulkan
dengankekuatan tanggan dan cucuran keringat sendiri secara halal, berguna untuk
kesanangan dan mempertahankan kebahagiaan dirinya sendiri, untuk memelihara dan
membuat orang tuanya bahagia; demikian pula membahagiakan istri dan
anak-anaknya, membahagiakan para karyawan dan anak buahnya. Inilah alasan
pertama untuk mengerjar kekayaan.”
PENGERTIAN EKONOMI
Ekonomi dalam kamus pintar bahasa Indonesia oleh Nanda Santoso, diartikan
sebagai perihal mengurus dan mengatur kemakmuran yang berkaitan dengan masalah
keuangan, perdagangan dan sebagainya, ilmu rumah tangga Negara.
Sedangakan
menurut kamus ilmiah popular oleh Pius A Partanto dan M. Dahlan Al Barry,
ekonomi adalah segala usaha manusia dalam memenuhi kebutuhannya guna mencapai
kemakmuran hidupnya; pengaturan ruah tangga.
Konsep
ekonomi buddhis yaitu penghiupan/mata pencaharian benar yang terdapat di dalam
Jalan Mulia Berunsur Delapan. Menyebabkan perlunya ekonomi buddhis memiliki
beberapa implikasi, yaitu sebagai berikut:
1. Ia mengindikasikan pentingnya Mata Pencaharian Benar
(ilmu ekonomi) dalam agama Buddha.
2.
Ilmu ekonomi dianggap hanya sebagai salah satu diantara sekian banyak faktor
(secara tradisional ada delapan faktor) yang membentuk jalan hidup yang benar,
yaitu jalan yang bisa menyelesaikan masalah kehidupan.
Menurut
para ahli Ekonomi buddhis tidak hanya mempetimbangkan nilai-nilai etika dari
suatu kegiatan ekonomi , tetapi juga berjuang untuk memahami realitas dan
mengarahkan kegiatan ekonomi pada keharmonisan dengan ”hal seperti apa
adannya”.
Dalam
Anguttara Nikaya IV, 285 Sang Buddha menjabarkan bahwa keberhasilan usaha kita
paling sedikit tergantung pada empat faktor utama yaitu:
1. Utthanasampada
Rajin dan bersemangat di dalam bekerja. Semangat, menduduki urutan pertama
untuk menentukan kesuksesan kita karena pekerjaan kita tidak akan berhasil bila
dikerjakan dengan setengah hati.
Unsur
dalam semangat adalah keinginan untuk menjadi orang nomor satu di lingkungan
kita .
Selain
keinginan menjadi orang nomor satu, uang, kekuasaan dan status juga dapat
memacu semangat kita.
Semangat
bekerja akan mudah didapat bila jenis pekerjaan yang dilakukan adalah menjadi
kesenangan kita atau kalau dapat bahkan sejalan dengan hobby atau bakat kita.
Dalam
menghadapi situasi ekonomi saat ini yang sangat ketat persaingannya maka
kepandaian saja bukanlah satu-satunya jaminan keberhasilan namun KETRAMPILAN
atau KEMAMPUAN KHUSUS menjadi factor penting menuju kesuksesan, disamping kerja
keras, pelatihan, pengalaman dan strategi, tentu saja.
Buddha Dhamma memandang kerja itu paling sedikit mempunyai
tiga fungsi, yaitu:
1.
Memberi kesempatan kepada orang untuk menggunakan dan mengembangkan bakatnya.
2.
Agar orang dapat mengatasi egoismenya dengan jalan bergabung dengan orang lain
untuk melaksanakan tugasnya.
3.
Menghasilkan barang dan jasa yang perlu untuk kehidupan yang layak.
Kerja
hendaknya dijadikan sumber kesenangan, kesempatan untuk mengembangkan
kreatifitas, sarana untuk mengungkapkan potensi diri, dan mengembangkan bakat
seseorang.
Pekerjaan
akan menjadi sarana membentuk watak, memupuk persaudaraan dengan sesama manusia
dan juga menyejahterakan kehidupan kita.
2. Arakkhasampada
Penuh hati-hati menjaga kekayaan yang telah diperoleh. Memelihara kesuksesan
adalah hal pokok kedua yang kadang diremehkan oleh sebagian orang yang telah
merasa berhasil dalam usahanya.
Menjaga
kesuksesan di sini termasuk menjaga SISTEM YANG DIGUNAKAN dan HASIL YANG
DIDAPAT serta berusaha untuk lebih meningkatkannya lagi.
Meningkatkan
sistem yang dipakai dan sekaligus akan meningkatkan hasil produksi kita dalam
menejemen modern dikenal dengan istilah SWOT - Strength, Weakness, Opportunity,
Threat. Hal serupa juga telah diuraikan caranya oleh Sang Buddha dalam salah
satu unsur Jalan Mulia Berunsur Delapan yaitu DAYA UPAYA BENAR.
Evaluasi
ini disebutkan sebagai empat cara (Padhana) yang terdapat dalam Anguttara
Nikaya II, 16 :
a. Sangvarappadhana :
Usaha
agar kekurangan yang BELUM dimiliki tidak timbul dalam diri kita, bandingkan
dengan Opportunity.
b.
Pahanappadhana :
Usaha
untuk menghilangkan kekurangan yang SUDAH dimiliki, bandingkan dengan Weakness.
c. Bhavanappadhana :
Usaha
untuk menumbuhkan kelebihan yang BELUM dimiliki, bandingkan dengan Threat.
d.
Anurakkhappadhana :
Usaha
untuk mengembangkan kelebihan yang SUDAH dimiliki, bandingkan dengan Strength.
Jadi,
setelah mencapai keberhasilan suatu usaha hendaknya kita mau mencari
faktor-faktor yang menyebabkannya dan kemudian berusaha untuk lebih
meningkatkannya lagi, sedangkan bila menemui kegagalan pun haruslah ia
dijadikan sahabat kita.Kegagalan itu ibarat persimpangan jalan yang paling
penting menuju kerja yang lebih termotivasi.
3. Kalyanamittata
Memiliki teman yang bersusila Dalam pengertian Buddhis, teman dan lingkungan
yang baik akan memberikan pengaruh cukup besar untuk kemajuan usaha kita.
Teman
tersebut akan mampu memberikan ide-ide segar dan dukungan moral agar kita maju
dalam usaha.
Digha
Nikaya III, 187 memberikan kriteria dasar teman yang dapat memajukan usaha kita
sebagai berikut :
a.
Teman yang mampu dan mau membantu didalam berbagai cara
b.
Teman yang simpati di kala suka dan duka
c.
Teman yang mampu dan mau memperkenalkan kita pada hal-hal yang bermanfaat untuk
kemajuan usaha kita
d.
Teman yang memiliki perasaan persahabatan yaitu dapat memberikan kritik
membangun dan jalan keluarnya, serta dapat memberikan pujian yang tulus agar
memberikan dorongan semangat.
Sedangkan
agar dapat memperoleh serta membina teman yang baik dan juga termasuk rekanan
kerja yang sesuai, Anguttara Nikaya II, 32 menguraikan hal-hal perlu kita
laksanakan :
1. Dana : Kerelaan
2.
Piyavaca : Ucapan yang menyenangkan dan halus
3.
Atthacariya : Melakukan hal-hal yang berguna untuk orang lain
4.
Samanattata : Memiliki ketenangan batin, tidak sombong
4.
Samajivita
Hidup sesuai dengan pendapatan, tidak boros dan juga tidak kikir. Materi dalam
Agama Buddha bukanlah musuh yang harus dihindari, namun ia juga bukan pula
majikan yang harus kita puja.
Hendaknya
kita bersikap netral terhadap materi serta mampu mempergunakannya sewajarnya
sesuai dengan kebutuhan.
Digha
Nikaya III, 188 mengajarakan penggunaan materi yang seimbang dilakukan dengan
membagi keuntungan yang didapat dalam beberapa bagian :
50%
: dipakai untuk menambah modal usaha
25%
: digunakan untuk membiayai hidup sehari-hari
25%
: disimpan sebagai cadangan di saat darurat, untuk berdana dan kegiatan sosial lainnya.
Dengan
menggunakan rumus di atas, kemewahan dan kekikiran menjadi relatif sifatnya.
Kita
tidak akan gampang mengatakan seseorang hidup bermewah-mewah ataupun sebaliknya
kikir dengan hanya melihat sepintas pengeluarannya.
Semua
pengeluaran hendaknya disesuaikan dengan pandapatan sehingga dengan demikian
pastilah kemajuan ekonomi tercapai. Salah satu kesalahan yang dilakukan
kebanyakan dari kita ialah kurang mengendalikan pengeluaran padahal dengan
menekan biaya serendah mungkin akan memaksimalkan keuntungan.
Tugas
yang harus dilaksanakan untuk meningkatkan pancapaian saat ini adalah :
1.
Semangat dan kerja keras menghasilkan kekayaan.
2.
Perawatan dan perhiasan menambah kecantikan.
3.
Melaksanakan pekerjaan pada saat yang sesuai menjaga kesehatan.
4.
Persahabatan sejati menumbuhkan kebajikan.
5.
Pengendalian indria menjaga kehidupan suci.
6.
Menghindari sengketa menumbuhkan persahabatan.
7.
Pengulangan menghasilkan pengetahuan.
8.
Bersedia mendengar dan bertanya menumbuhkan kebijaksanaan.
9.
Mempelajari dan menguji memperdalam Buddha Dhamma.
10.
Kehidupan yang benar menghasilkan kelahiran di alam-alam sorga.
Sang
Buddha membekali kita dalam melakuakan pekerjaan apapun, yaitu dengan:
1.
Semangat, munculnya semangat harus didukung dengan mengerti apa tujuankita
mengerjakan suatu pekerjaan itu.
2.
Hendaknya kita harus bias menjaga hasil usaha kita, yaitu dengan merawatnya.
3.
Hendaknya kita harus mempunyai teman atau lingukngan yang mendukung, yang bias
membantu supaya pemeliaraan tersebut berjalan terus. Tema yang baik mendorong
kita bertambah maju dengan menganjurkan hal-hal yang baik, tetapi teman yang
tidak baik justru menarik kita untuk selalu mundur dengan menganjurkan hal-hal
yang tidak baik yang akan memerosotkan moral dan menghanculkan hasil usaha kita
dapatkan dengan susah payah.
4.
Hendaknya kita bias menggunakan hasil tersebut secara bijaksana. Menggunakan
hasil tersebut dengan tidak terlalu pelit tetapi juga tidak terlalu boros.
Konsep
ekonomi dalam agama buddha adalah 1) bekerja keras tanpa membuang-buang waktu
mereka yang sangat berharga untuk mendapatkan uang, 2) menabung untuk masa
depan untuk menopang keluarga, 3) memenuhi tugas dan kewajiban hati-hati dengan
mengeluarkan uang dari apa yang dihasilkan dengan tanpa boros (D.iii.31). Tidak
menunda suatu pekerjaan apapun merupakan konsep dasar dalam pencarian kekayaan
(D.iii.31). Dalam memenuhi perekonomian, manusia harus aktif agar perekonomian
yang dicapai dapat seimbang.
Peran Ekonomi dalam pandangan
Buddhis
”Dengan harta kekayaan yang dikumpulkannya
dengan bersemangat, dengancara-cara yang sah dan tanpa kekerasan, seseorang dapat
membuat dirinya bahagia, juga orang tuanya, istri dan anak-anaknya, pelayan dan
bawahannya, sahabatnya, kenalannya dan orang-orang lain;...dapat mempertahankan
kekayaannya;...memberikan hadiah dan persembahan kepada sanak saudara,
tamu-tamu, arwah leluhur, dan para dewa;...membayar pajak kepada pemerintah dan
mempersembahkan pemberian kepada orang-orang suci, untuk mengumpulkan pahala.”
(AṅguttaraNikāya, 67).
Penghidupan
Benar Menurut Agama Buddha
Lima macam perdagangan/pekerjaan yang
harus dihindari seperti yang dijelaskan dalam
Aṅguttara Nikāya.
“Inilah, para bhikkhu, lima perdagangan yang seharusnya tidak dijalankan oleh seorang
pengikut awam: berdagang senjata, berdagang makhluk hidup, berdagang daging,
berdagang benda-benda yang memabukkan, berdagang racun.” (AṅguttaraNikāya,
110).
Mata pencaharian yang benar adalah segala
bentuk pekerjaan yang sah dan dari keringat sendiri. Bukan dari hasil merampok atau
mencuri milik orang lain. Pekerjaan yang benara dalah pekerjaan yang tidak merugikan
makhluk lain dan diri sendiri.
Manajemen Ekonomi Buddhis
• Sang
Buddha memberikan suatu bentuk manajemen
ekonomi yang seimbang dalam kehidupan masyarakat. ”Bila perumah tangga yang
baik mengumpulkan harta. Ia dapat membantu
handaitaulannya. Dalam empat bagian hendaklah dibaginya harta itu. Maka melekatlah
padanya kemudahan-kemudahan hidup. Satu bagian dibelanjakan dan dinikmati buahnya.
Duabagian untuk meneruskan usahanya. Bagian keempat disimpannya baik-baik,
untuk persediaan pada masa-masa sulit.” (Wowor. TanpaTahun: 54).
Cara Sukses Dalam Perspektif Buddhis
• Chanda : kepuasan dan kegembiraan di dalam mengerjakan
hal-hal yang sedang dikerjakan.
• Viriya : usaha yang bersemangat di dalam mengerjakan sesuatu.
• Citta : memperhatikan dengan sepenuh hati terhadap
hal-hal yang sedang dikerjakan tanpa membiarkannya begitusaja.
• Vimaṁsa : merenungkan dan menyelidiki alasan-alasan
di dalam hal-hal yang sedang dikerjakan.
II.
MANAJEMEN EKONOMI DALAM AGAMA BUDDHA
Kehidupan sebagai perumah tangga
bertanggung jawab terhadap keluarga tidak terlepas dari persoalan
ekonomi, maka diperlukan cara mengatur ekonomi rumah tangga, untuk
mencapai kesejahteraan hidup. Buddha tidak mengajarkan ilmu ekonomi, tetapi prinsip
moral dan agama yang diajarkan-Nya, melatar belakangi ilmu ekonomi bagi pemeluk
agama Buddha. Ekonomi Buddhis adalah cara memperoleh kekayaan dengan memiliki
mata pencaharian yang benar dan menggunakan dengan cara yang benar pula.
Kehidupan dalam agama Buddha ada dua pilihan yaitu hidup sebagai perumah tangga
dan kehidupan sebagai samana. Perumah tangga penyokong keluarga dan
kehidupan petapa tidak memiliki ikatan keduniawian (Sn.220). Kehidupan
perumah tangga memiliki ikatan-ikatan duniawi, keterikatan pada anak, istri dan
harta kekayaan jauh lebih kuat dari belenggu yang dari besi, kayu ataupun tali
jerami (Dhp.345).
Ilmu ekonomi agama Buddha dipandang
berbeda dengan ilmu ekonomi yang berdasarkan materialisme modern. Penganut
Buddha mengutamakan pada pembebasan, sedangkan kaum materialisme berminat pada
barang. Buddha mengajarkan Jalan Tengah, bukan
berarti memusuhi kesejahteraan materiil. Harta bukan
merupakan penghalang untuk mencapai pembebasan,
namun keterikatan pada kekayaan itu yang
menimbulkan penghalang, mengalami segala yang dinikmati tidak salah,
tanpa kehausan akan yang dinikmati (Wijaya-Mukti.2003.402).
Ekonomi Buddhis tidak mengukur
segalanya dengan uang, namun dasar ekonomi Buddhis adalah kesederhanaan dan
tanpa kekerasan. Ekonomi modern menganggap konsumsi dan faktor-faktor produksi,
tanah, buruh dan modal sebagai alat. Ilmu ekonomi modern berusaha memaksimalkan
konsumsi dengan pola produksi yang optimal (Wijaya-Mukti.2003.402).
Pemikiran Buddhis memaksimumkan
kepuasan manusia dengan pola konsumsi optimal, perumah tangga yang giat
bekerja, mengumpulkan kekayaan dipergunakan untuk menimbun jasa kebajikan.
Perumah tangga yang pada masa mudanya tidak menjalankan kehidupan suci, tidak
juga mengumpulkan kekayaan, akan merana seperti bangau tua yang tinggal di
kolam tanpa ikan (Dhp.155). Kesucian dan kekayaan merupakan dua hal
yang tidak bertentangan, kehidupan spiritual dan material saling
menunjang dan mendukung.
Kegiatan mengumpulkan uang tidak
berhubungan dengan agama, namun orang bisa taat beragama dengan harapan
mendapatkan berkah berupa kekayaan. Agama tidak hanya memberi kekayaan rohani
bagi penganutnya, tetapi juga menjanjikan kekayaan duniawi. Setiap manusia
wajar mengharapkan kekayaan, nama baik atau kedudukan, berumur panjang dan
setelah meninggal dunia terlahir di surga. Keempat hal itu akan dapat diperoleh
pada waktunya dengan memiliki keyakinan, moral kebajikan, kemurahan hati dan
kebijaksanaan (A.IV.281-283).
Perumah tangga dalam mengatur
ekonomi yang diperoleh dengan cara seimbang tidak melebihi dari penghasilan.
Perumah tangga yang menjadi seorang pengusaha atau memiliki penghasilan yang
basar dengan membagi kekayaan seperti yang diajarkan oleh Sang Buddha.
“Kekayaan yang diperoleh dibagi menjadi empat bagian, sebagian dibelanjakan
untuk kebutuhan sehari-hari, dua bagian digunakan untuk modal usaha, sebagian
untuk ditabung untuk berjaga-jaga pada saat sulit” (D.III.188).
Perumah tangga memperoleh kekayaan
dengan bekerja keras dan digunakan dengan sebaik-baiknya. Penggunaan kekayaan
dimanajemen dengan baik sehingga kesejahteraan keluarga tercapai,
kemajuan ekonomi rumah tangga diukur dari fakta penalokasian kekayaan
seperti yang diajarkan Sang Buddha.
Kekayaan yang diperoleh dengan
benar, dibelanjakan dengan penuh kewaspadaan, sesuai dengan kebutuhan dengan
mempertimbangkan kesehatan dan mendahulukan kebutuhan primer daripada kebutuhan
sekunder. Makanan, bahkan yang berupa sisa sekalipun, pantang disia-siakan,
perbuatan membuang bilasan periuk atau mengkuk yang dicuci disungai dan kolam
dengan harapan makhluk-makhluk di dalamnya mendapatkan makanan, diakui akan
menghasilkan kebajikan (A.I.16).
Penggunaan kekayaan dengan cara yang
benar, tanpa kekerasan, akan memperoleh kesenangan dan kenikmatan bagi diri
sendiri, membaginya dengan orang lain, serta melakukan
perbuatan-perbuatan terpuji, mengunakan tanpa keserakahan, tanpa keterikatan,
bebas dari kejahatan, waspada dan tiada tercela (S.IV.332).
Tabungan untuk berjaga-jaga dalam
menghadapi bencana kebakaran, kebanjiran, kehilangan, tekanan penguasa, musuh,
simpanan dibatasi seperempat bagian kelebihan harta menjadi bagian yang
dipergunakan untuk kepentingan orang lain, dengan berbagai kebagi kebahagiaan
atau meningkatkan produktivitas. Bagian kekayaan lebih bermanfaat
digunakan untk menambah unit produksi atau modal usaha, membuka lapangan kerja
baru ketimbang hanya dijadikan simpanan saja.
Penggunaan kekayaan yang sesuai
dengan ajaran Buddha diterapkan setiap perumah tangga, kesejahteraan
ekonomi keluarga akan dicapai. Tingkat kemajuan ekonomi keluarga, menurut
pandangan Buddhis diukur dari pengalokasian kekayaan seperti yang diajarkan
oleh sang Buddha. Buddha mengingatkan, bahwa kebahagiaan karena memiliki usaha
sendiri ( Atthi-sukha), adanya kekayaan yang dapat dimanfaatkan (bhoga-sukha),
kebahagiaan itu pantas dinikmati karena tidak mempunyai utang ( anana-sukha)
dan tidak melakukan pekerjaan atau perbuatan yang tercela (anvajja-sukha)
(A.III.68 ).
Berdasarkan uraian di atas yang
menjadi penyebab penderitaan rumah tangga adalah manajemen ekonomi yang tidak
matang, sehingga perumah tangga dalam menggunakan kekayaan, pembelanjaan
melebihi penghasilan. Manajemen ekonomi rumah tangga bertujuan untuk mengatur
penggunaan penghasilan dengan cara seimbang untuk mencapai kesejahteraan hidup
keluarga. Di dalam agama Buddha mencapai kesejahteraan ekonomi dalam rumah
tangga untuk menopang kesejahteraan spiritual yang merupakan salah satu sarana
untuk mencapai pembebasan.
B. TINJAUAN EKONOMI BUDDHIS
Sebelum penulis mendifinisikan
tentang ekonomi terlebih dahulu penulis akan mengetengahkan beberapa pendapat
dari beberapa ahli. Ekonomi adalah “pengetahuan dan penyelidikan mengenain
asas-asas penghasilan (produksi), pembagian (distribusi) dan
pemakaian barang-barang serta kekayaan, urusan rumah tangga dan kehematan” (Poerwadarminta.1987.267).
Kata ekonomi berasal dari kata “oekosnomos yaitu pengelolaan rumah
tangga” (Wijaya-Mukti.2003.392). Jadi ekonomi adalah pengelolaan
penghasilan, pembagian dan pemakaian barang-barang serta kekayaan dalam rumah
tangga.
1. Pengertian Ekonomi Menurut
Buddhis.
Prinsip-prinsip ekonomi dalam
tradisi Zen diungkapkan “Tidak ada brang satupun yang menyamai makan dan
berpaiakan. Diluar itu tidak ada Buddha ataupun Patriak”. Penghayatan dan
penyembpurnaan batin yaitu realisasi Dhamma, diperoleh dari kehidupan
sehari-hari. Menurut Han Shan dalam syairnya yang dipetik oelh Krisnanda
Wijaya-Mukti
( 391) mengemukakan:
A.
Berbicara tentang makanan tak akan
mengenyangkan perutmu
B.
Menggerutu tentang pakaian tak akan
menghangatkan tubuh
C.
Hanya semangkok nasi yang dapat
membuat perutmu kenyang
D.
Cuma diperlukan sepotong pakaian
membuat hangat badan
E.
Tetapi tidak berhenti untuk
berbincang tentang maslaha ini
F.
Engkau terus berkata bahwa Buddha
sukar ditemukan
G.
Tariklah pikiranmu ke dalam. Di
sanalah ditemukan
Mengapa mencarinya keluar?
Ekonomi pada umumnya menfokuskan
perhatian kepada kepentingan manusia, sehingga sering melanggar kepentingan
makhluk lain. Ekonomi selalu berpengaruh pada ekologi dan ekologi mempengaruhi
ekonomi. Agama Buddha bertujuan untuk mensejahterakan hidup semua makhluk,
sehingga berkepentingan terhadap ekonomi dan ekologi, Ekonomi menyangkut
makanan, pakaian dan sumber daya alam yang tersedia.
Manusia memenuhi kebutuhan-kebutuhan
hidup dengan menggunakan akal budaya. Akal budaya yang dikembangkan dengan baik
mendorong manusia untuk mencari nafkah atau pendapatan yang dapat dipergunakan
untuk memenuhi kebutuhan hidup. Mencari nafkah hanya dapat diperoleh dengan
bekerja dan berkarya.
Ilmu ekonomi secara implisit maupun
eksplisit mengetahui adanya perjuangan untuk hidup, yaitu persaingan bebas.
Dalam teori Adam Smith, persaingan bebas adalah persaingan pengusaha dan
masyarakat umumnya. Buddhis menghindari persaingan bebas yang tidak sehat, pertikaian
menciptakan situasi menang dan kalah. Dalam perselisihan akan binasa (Dhp.6).
Buddha tidak mengajarkan ilmu
ekonomi, tetapi prinsip moral dan gama yang diajarkan melatar belakangi ilmu
ekonomi pemeluk agama Buddha. Prinsip-prinsip ini bisa tidak dipahami secara
totalitas, tidak komperehensif diterapkan dalam kegiatan ekonomi sehari-hari.
Sumacher menyimpulkan bahwa ilmu ekonomi agama Buddha itu pasti ada. Mata
pencaharian atau penghidupan yang benar adalah salah satu unsur dari jalan
mulia berunsur delapan di dalam agama Buddha.
Perumah tangga yang menjalankan
penghidupan benar tidak akan merugikan mahkluk lain. Mata pencaharian yang baik
tidak mencelakakan, tidak menyakiti atau membuat pihak lain menderita. Buddha
memperhatikan baik buruknya suatu barang diperdagangkan, sehubungan dengan
ajaran sila. “Lima perdagangan yang harus perlu dihindari yaitu berdagang
senjata, mahkluk hidup, daging, minuman keras dan racun” (A.III.207).
Ekonomi Buddhis tidak mengukur
segalanya dengan uang, namun ekonomi Buddhis adalah kesederhanaan dan tanpa
kekerasan. Namun kesederhanaan dalam sistem ekonomi Buddhis tidak identik
dengan kemiskinan. Menanggulangi kemiskinan merupakan prioritas utama yang
dilakukan oleh perumah tangga yang baik dengan memiliki penghidupan yang benar.
Kemiskinan dan kemelaratan mendatangkan berbagai bentuk kejahatan. Dari
kemiskinan muncul pencurian, tindak kekerasan, pembunuhan, dustam fitnah, dan
zina (D.III.65-75).
Penanggulangan kemiskinan dengan
cara mengatur keseimbangan antara pengeluaran yang disesuaikan dengan
pendapatan. Disamping itu juga perumah tangga perlu memiliki pekerjaan yang
baik dan benar untuk memperoleh perhasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari.
2. Konsep Manajenem Ekonomi Rumah
Tangga Buddhis.
Manajemen adalah proses merencanakan
dan mengambil keputusan, mengorganisasikan, mempimpin dan mengendalikan sumber
daya manusia, keuangan, fisik dan informasi guna mencapai sasaran organisasi
dengan cara yang efisien dan efektif (Ensiklopedi Nasional Indonesi.1990.115).
Manajenmen ekonomi timbul karena usaha manusia untuk mencapai kesejahteraan dan
kemakmuran dalam kehidupan sehari-hari.
Manajemen Ekonomi Buddhis
adalah suatu proses perencanaan, pengorganisasian, pengaturan, pengendalian
serta penggunaan sumber daya ekonomi untuk mencapai tujuan perekonomian yang
dipengaruhi ajaran agama Buddha. Dalam pengelolaan sumber daya, seorang Buddhis
hanya memanfaatkan apa yang dibutuhkan seperlunya. Untuk mencapai kesejahteraan
seseorang memerlukan pekerjaan, sehingga mendapatkan penghasilan atau kekayaan.
Bekerja membuat hidup menjadi lebih baik, sekaligus membuat hidup berarti bagi
orang lain. Alasan pertama untuk mengejar kekayaan bukian hanya untuk
menyenangkan diri sendiri, tetapi juga memelihara dan membuat keluarga, karyawan
dan pengikutnya bahagia (A.III.45).
Seorang pekerja yang bekerja untuk
kepentingan orang lain, tetapi sesungguhnya bekerja untuk diri sendiri. Dengan
bekerja mengembangkan potensi yang dimiliki secara maksimal berarti
mengaktualisasi diri. Setiap orang mempunyai arah tujuan sendiri untuk
menciptakan masa depannya. Diri sendiri sebagai pelindunng bagi dirinya, karena
itu orang perlu mengendalikan diri untuk memenuhi kebutuhan sendiri juga
bergantung pada diri sendiri.
Setiap individu memerlukan motivasi
yang menyebabkan berbuat atau bertingkah laku, sesuai dengan visi dan misi yang
ingin dicapai untuk memeproleh kesejahteraan. Semua orang dengan senang hati
akan melakukan perbuatan yang memberi keuntungan bagi diri sendiri, keuntungan
tidak selalu berbentuk materi, tetapi pada umumnya satu pekerjaan menghasilkan
keuntungan yang bersifat psikis. Menurut George R. Terry, hal-hal yang
mempengaruhi motivasi adalah keinginan dan kebutuhan tujuan dan persepsi dari
individu atau kelompok, cara mencapai kebutuhan dan tujuan.
Perumah tangga mencari kekayaan dan
menggunakan kekayaan yang dimiliki tidak terikat dengan kekayaan, karena
keterikatan dapat menimbulkan penderitaan. Cara pengumpulan harta dengan
cara-cara yang tidak jujur, melanggar hukum, kikir, menghabiskan dengan sia-sia
atau tidak digunakan untuk mengurangi penderitaan orang lain merupakan cara
pengumpulan harta yang tidak benar. Mencari kekayaan dengan cara yang tidak
benar, melakukan kejahatan, tidak akan memperoleh kebahagiaan, karena tidak
pernah dapat hidup dengan tentram. Tercela karena membuat tidak membuat orang
lain bahagia dan tidak menghasilkan jasa kebajikan (S.IV.331). Perumah
tangga yang pantas dipuji akan mencari harta dengan cara yang baik dan
mempergunakan untuk kebaikan dan kebahagiaan dirinya dan orang lain. Perumah
tangga akan memberikan sokongan pada sangha dengan harta yang dimiliki serta
menggunakan dalam usaha untuk melenyapkan penderitaan dan kemiskinan yang
diderita oleh orang lain.
Seseorang yang mengumpulkan
kekayaan, dengan cara yang sah dan tanpa kekerasan maka akan memperoleh
kenikmatan dan suka cita, membaginya dengan orang lain serta melakukan
perbuatan baik, menggunakannya tanpa keserakahan dan kehausan, tanpa melakukan
pelanggaran-pelanggaran, menyadari bahaya dalam menyalah gunakan dan sadar akan
tujuan hidupnya yang tertinggi, maka ia patut dipuji dan tidak dicela (S.IV.332).
Kekayaan yang diperoleh dengan cara
yang benar dan sah dipergunakan sesuai dengan kebutuhan sehari-hari, dengan
penuh kewaspadaan, ketelitian dan mempertimbangkan kesehatan. Kekayaan yang
diperoleh dibagi menjadi empat bagian , sebagian dibelanjakan dan dinikmati,
dua bagian digunakan sebagai modal usaha dan sebagian ditabung untuk persediaan
pada saat sulit (D.III.188).
Perumah tangga yang berkecukupan
dalam bidang ekonomi tidak terlena dalam kemewahan yang ada, tidak hidup
berfoya-foya karena perbuatan itu akan membawa kemerosotan dalam kehidupan.
Senang bermain perempuan, mabuk-mabukan, berjudidan menghambur-hamburkan apa
yang telah diperolehnya, ini penyebab kemerosotan (Sn.106). Kewaspadaan,
keteilitian dan hemat diperlukan dalam mengatur ekonomi rumah tangga, ekonomi
yang teratur akan membawa kesejahteraan hidup keluarga. Untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya perumah tangga bekerja dengan sekuat tenaga, Buddha mencela
kebiasaan bermalas-malas.
III.
Bisnis Dalam Pandangan Agama Buddha
Sang Buddha menganggap kesejahteraan
ekonomi sebagai salah satu syarat bagi kenyamanan manusia, tetapi pengembangan
moral dan spiritual adalah syarat bagi kehidupan yang bahagia, damai dan
memuaskan (Sri Dhammananda, Keyakinan Umat Buddha : 178)
Agama buddha tidak memandang
kesejahteraan materil sebagai tujuan akhir, kesejahteraan materil hanya
merupakan alat untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi dan luhur. Oleh sebab
itu Agama Buddha mengakui perlunya suatu kesejahteraan materil yang minimum
untuk mencapai sukses.
Cakkavattisihanada sutta : Digha
Nikaya (26). Sang Buddha menyatakan bahwa kemiskinan yang sangat adalah sebab
utama dari perbuatan-perbuatan yang tidak bermoral dan kejahatan seperti
pencurian, penipuan, pemerasan, kebencian, kekejaman, adu domba dll
Untuk melenyapkan kejahatan, Agama
Buddha menganjurkan agar keadaan perokonomian rakyat diperbaiki. Pendidikan
perekonomian sangat diperlukan. Disinilah pentingnya suatu usaha yang mandiri
(wirausaha) dikembangkan. Banyak keuntungan-keuntungan yang didapat dengan
pengembangan wirausaha Buddhis.
(Angutara
nikaya III, hal 45) : dengan kekayaan yang dikumpulkan dengan semangat dan
halal seseorang dapat membuat dirinya bahagia, juga orang tuanya dan
orang-orang lainnya; dapat mempertahankan kekayaannya; memberikan hadiah dan
persembahan kepada sanak saudara; tamu-tamu, arwah leluhur dan para dewa;
membayar pajak kepada pemerintah dan pemberian kepada orang-orang suci untuk
mengumpulkan karma baik.
Miskin
= celaka
(Angutara
Nikaya, III, Hal 351) Menurut Sang Buddha sesorang yang miskin dapat mengalami
hal-hal sebagai berikut :
1. Terlibat
hutang.
2. Harus
membayar bunga pinjaman.
3. Hidupnya
dikejar-kejar untuk membayar hutang.
4. Mengalami
kebangkrutan.
5. Akhirnya
masuk penjara.
(Dhammapada-Atthakata
I, hal 238) Menurut Sang Buddha jika seseorang sungguh-sungguh bekerja
menjalankan kewajibannya, selalu waspada, murni tindak-tanduknya, terkendali
dirinya dan sadar, jika ia hidup sesuai dengan dhamma, dan
sungguh-sungguh,kemuliaan akan terus bertambah.
(Angutara
Nikaya II, 32) Kemakmuran dan kemasyuran akan diperoleh apabila melakukan
hal-hal sebagai berikut:
1. Hidup
diderah yang sesuai.
2. Bergaul
dengan orang-orang yang baik.
3. Penyiapan
diri yang baik.
4. Menyimpan
jasa yang dikumpulkan dalam kehidupan-kehidupan yang lampau ia akan memperoleh
kesempatan untuk mencapai kemasyuran dan kekayaan (memiliki karma lampau
sebagai pendukung).
(Jataka
I, hal 122) Sekalipun dengan modal kecil, jika seseorang cukup cerdas dan
terampil, ia akan dapat mengangkat dirinya pada kedudukan yang lebih tinggi,
bagaikan orang yang memperoleh api yang besar dengan meniup api yang kecil.
Dari penjelasan sutta-sutta diatas
jelaslah bahwa Sang Buddha juga mendukung suatu bentuk kemandirian / wirausaha
bagi seseorang, dengan berangkat dari modal yang kecil, ditekuni, digeluti
dengan penuh kecermatan dan kewaspadaan, maka ia akan memperoleh kesuksesan
besar. Suatu bentuk usaha / wirausaha dapat dilakukan oleh seseorang dengan
memanfaatkan modal seadanya dulu, tidak harus dengan modal yang langsung besar.
Kepiawaian dalam memanfaatkan peluang yang ada untuk usaha bisnis, sangat
berpengaruh terhadapa kesuksesan. Hal ini juga perlu didukung dengan Bala 4
(empat macam kekuatan) yaitu:
1. Panna-bala
: kekuatan dari kebijaksanaan. Wirausaha hendaknya memerhatikan aspek
kehati-hatian, penuh pertimbangan berbagai aspek : individu sosial,
input-output, income-outcomenya.
2. Viriya-bala
: kekuatan semangat. Kekuatan ini menjadi api penggerak / adhitthana demi
berkobarnya suatu bentuk usaha. Semangat memegang peranan untuk menghancurkan
kemalasan yang terjangkit dalam diri wirausahawan.
3. Anavajja-bala
: kekuatan dari kesucian. Hal ini melipuri bentuk usaha, bidang usaha dan
jalannya usaha yang penuh dengan kebersihan dari usaha kotor (korupsi,
penipuan, pemalsuan dll)
4. Sangaha-bala
: kekuatan dari simpati. Seorang wirausahawan / wirausahawati seyogyanya
memperhatikan dan membuat orang lain, alam sekitar, masyarakat luas, pemerintah
menaruh simpati. Sehingga perusahaan semakin besar dan berkembang. Hal ini
dapat dilakukan dengan sikap adanya penghargaan. Di sini dibutuhkan hubungan
timbal balik (simbiosis mutualisme), perusahaan menaruh perhatian terhadapa
produknya, masyarakat membutuhkan hasil produksi dalam keseharian.
Wirausaha
yang benar menurut pandangan Sang Buddha meliputi penghidupan yang menghindari
MICCHAVAINIJJA
5
1. Sattha-Vanijja : Berdagang alat senjata
2. Satta-Vanijja : Berdagang mahkluk hidup
3. Manisa-Vanijja
: berdagang daging
4. Majja-Vanijja : berdagang minuman yang
memabukkan
5. Visa-Vanijja
: Berdagang racun
Contoh
perdagangan / wirausaha yang dianjurkan Buddha :
1. Garmen
2. Sembako
3. Kendaraan
bermotor
4. Hasil
bumi / hutan
5. Fonitur
6. Sayuran
/ mlijo
7. Jamu
sehat
8. Warung
makan vegetarian
9. Alat-alat
rumah tangga
10. Angkot
dll.
Setelah
melakukan bentuk wirausaha yang benar menurut hukum dhamma, tentunya kedamaian,
ketentraman, dapat dirasakan saat ini maupun nanti setelahmengalami kematian.
Semua itu perlu dijaga, dilestarikan agar berkembang dan mekar menjadi besar.
Hal ini dapat dilakukan dengan berpedoman pada sabda Sang Buddha dalam
Vyagghapajja Sutta sebagai berikut :
1. Utthana
Sampada : rajin dan bersemangat
dalam mencari nafkah.
2. Arakkha
Sampada : menjaga dengan hati-hati
harta yang telah didapat.
3. Kalyanamitta : memiliki teman-teman yang
baik.
4. Sammajivita
: menjalankan hidup yang sesuai dengan
penghasila.
Dengan
kekayaan yang diperoleh dengan benar, umat Buddha hendaknya melaksanakan
kehidupan seimbang. Sang Buddha menjelaskan adanya 4 macam kebahagiaan, yaitu :
1. Atthi-Sukha : kebahagiaan karena memiliki
harta kekayaan
2. Bhoga-Sukha : kebahagiaan karena dapat
mempergunakan kekayaan
3. Anana-Sukha
: kebahagiaan karena terbebas dari hutang
4. Anavajja-Sukha : kebahagian tanpa cela.
Drs. A. Joko Wuryanto, S. M. (2007). Wirausaha
Buddhis. CV. YANWREKO WAHANA KARYA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar