Jumat, 08 November 2013

Agama Buddha Dan Ekonomi

I.                   Agama Buddha Dan Ekonomi

1.1.Konsep Dasar Pengembangan Ekonomi
Pengertian Ekonomi
       Ekonomi berarti segala usaha manusia dalam memenuhi kebutuhannya guna mencapai kemakmuran hidupnya. (Novia. 2008: 182).
       Konsep-konsep Dasar dalam Pembangunan Ekonomi
Ekonomi Pembangunan adalah cabang dari Ilmu Ekonomi yang bertujuan untuk menganalisis masalah-masalah yang khususnya dihadapi oleh negara-negara sedang berkembang dan mendapatkan cara-cara untuk mengatasi masalah-masalah itu, supaya negara-negara tersebut dapat membangun ekonominya dengan lebih cepat lagi. Tujuan dari analisis ekonomi pembangunan adalah untuk: menelaah faktor-faktor yang menimbulkan keterlambatan pembangunan khususnya di negara-negara sedang berkembang, mengemukakan cara pendekatan yang dapat ditempuh untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi, sehingga dapat mempercepat jalannya pembangunan ekonomi khususnya di negara-negara tersebut. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu: sangat kompleksnya masalah pembangunan, banyaknya faktor yang mempengaruhi keberhasilan pembangunan dan banyaknya faktor yang terpengaruh oleh pembangunan, ketiadaan teori-teori pembangunan yang dapat menciptakan suatu kerangka dasar dalam memberikan gambaran mengenai proses pembangunan ekonomi.
Pembangunan ekonomi didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan perkapita penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka panjang, disertai dengan perubahan ciri-ciri penting suatu masyarakat, yaitu perubahan dalam keadaan sistem politik, struktur sosial, nilai-nilai masyarakat dan struktur kegiatan ekonominya. Tujuan pembangunan ekonomi pada prinsipnya dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: menaikkan produktivitas dan menaikkan pendapatan perkapita. Beberapa manfaat yang dapat dirasakan oleh masyarakat maupun perekonomian antara lain adalah: output atau kekayaan suatu masyarakat atau perekonomian akan bertambah, kebahagiaan penduduk bertambah, menambah kesempatan untuk mengadakan pilihan yang lebih luas, memberikan manusia kesempatan yang lebih besar untuk memanfaatkan alam sekitar, memberikan kebebasan untuk memilih kesenangan yang lebih luas, mengurangi jurang perbedaan antara negara-negara yang sedang berkembang dengan negara-negara yang sudah maju. Kerugian-kerugian dari pembangunan ekonomi adalah: mendorong seseorang untuk berpikir maupun bertindak lebih mementingkan diri sendiri, mendorong seseorang lebih bersifat materialistis, sifat hidup gotong royong yang pada umumnya terdapat di negara-negara sedang berkembang semakin berkurang, sifat kekeluargaan dan hubungan keluarga semakin berkurang.
       Permasalahan Dasar Pembangunan Ekonomi di Negara Sedang Berkembang
Ada tiga permasalahan dasar/pokok yang dihadapi oleh negara sedang berkembang. Tiga permasalahan tersebut adalah sebagai berikut: berkembangnya ketidakmerataan pendapatan, kemiskinan, gap atau jurang perbedaan yang semakin lebar antara negara maju dengan negara sedang berkembang.
Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya ketidakmerataan distribusi pendapatan di negara sedang berkembang, menurut Irma Adelman & Cynthia Taft Morris adalah sebagai berikut: menurunnya pendapatan per kapita, inflasi, ketidakmerataan pembangunan antar daerah, investasi yang sangat banyak dalam proyek-proyek yang padat modal (capital intensive), sehingga persentase pendapatan modal dari harta tambahan lebih besar dibandingkan dengan persentase pendapatan yang berasal dari kerja. Hal ini mengakibatkan pengangguran bertambah, rendahnya mobilitas sosial, pelaksanaan kebijaksanaan industri substitusi impor yang mengakibatkan kenaikan harga-harga barang hasil industri untuk melindungi usaha-usaha golongan kapitalis, memburuknya nilai tukar (term of trade) negara sedang berkembang dalam perdagangan dengan negara-negara maju, sebagai akibat ketidakelastisan permintaan negara-negara maju terhadap barang-barang ekspor negara sedang berkembang, hancurnya industri-industri kerajinan rakyat, seperti pertukangan, industri rumah tangga dan lain-lain. Kemiskinan ditimbulkan oleh dua hal, yaitu: kemiskinan yang bersifat alamiah atau kultural, dan kemiskinan yang disebabkan oleh miskinnya strategi dan kebijakan pembangunan yang ada, yang biasa disebut dengan kemiskinan struktural.
Di samping beberapa karakteristik di atas, ada beberapa faktor lain yang merupakan penghambat bagi pembangunan ekonomi di negara sedang berkembang antara lain adalah: dualisme ekonomi, iklim tropis, kebudayaan yang tidak ekonomis, produktivitas rendah, jumlah kapital yang sedikit, perdagangan luar negeri dan ketidaksempurnaan pasar.
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pembangunan Ekonomi
a. Faktor Alam
Khusus bagi Negara sedang berkembang, kekayaan alam sangat berpengaruh terhadap jalannya pembangunan ekonomi. Sebagian besar Negara sedang berkembang bertumpu pada kekayaan alamnya dalam melaksanakan pembangunan ekonominya. Namun perlu diingat bahwa kekayaan alam yang berlimpah saja belum menjamin keberhasilan pembangunan ekonomi apabila tidak diikuti dengan kemampuan mengelola. Selain itu, perlu juga diingat bahwa kekayaan alam yang dieksploitasi semakin lama semakin habis. Oleh karena itu, perlu perhitungan dengan cermat didalam mengelola kekayaan alam yang dimiliki. Faktor-faktor yang dimaksud antara lain kesuburan tanah, kekayaan mineral, tambang, kekayaan hasil hutan, dan kekayaan lain.


b. Faktor Teknologi dan Alam

Kemajuan teknologi dapat mendukung lebih cepatnya pelaksanaan perkembangan ekonomi. Kemajuan teknologi yang diikuti dengan kemampuan investasi akan semakin mempercepat laju perkembangan ekonomi suatu Negara. Kemajuan teknologi dapat mempengaruhi
1.efisiensi produksi
2.peningkatan kualitas produksi

c. Faktor Budaya
Faktor ini dapat berfungsi sebagai motivator atau pendorong pelaksanaan pembangunan, tetapi dapat juga menjadi penghambat pembangunan. Budaya dapat berfungsi sebagai pendorong apabila adat istiadat atau kehidupan tradisi masyarakat dapat menunjang pembangunan, misalnya masyarakat yang berpola hidup hemat berarti akan mempercepat terbentuknya investasi. Invetasi ini pada gilirannya akan mempercepat pembangunan itu sendiri. Contohnya kerja keras, jujur dan ulet. Namun ada juga faktor budaya yang bersifat sebagai penghambat, misalnya boros dan malas bekerja.
Khusus di Negara sedang berkembang, selain ketiga faktor tersebut diatas masih terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi pembangunan atau perkembangan ekonomi, yaitu:
a. Rendahnya Kualitas Tenaga Kerja
Pada umumnya Negara berkembang kualitas tenaga kerja masih rendah sehingga tingkat produktivitasnya rendah. Oleh sebab itu, pada Negara berkembang perlu adanya pelatihan tenaga kerja, peningkatan pendidikan, baik kualitas maupun kuantitasnya. Hal ini mengingat pada Negara berkembang rata-rata laju pertambahan penduduk yang pesat, padahal jumlah penduduk yang besar belum tentu berdampak positif pada pembangunan ekonomi, bahkan pada Negara berkembang jumlah penduduk yang besar umumnya berdampak negatif.
b. Rendahnya Daya Beli Masyarakat
Akibat rendahnya daya beli masyarakat Negara berkembang, hasil produksi tidak lancar dikonsumsi. Hal ini akan berakibat terhambatnya perluasan produksi. Kesempatan produsen untuk memasarkan hasil produksinya sangat terbatas atau dengan kata lain luas pasar hasil produksinya sempit sehingga keuntungan produsen kecil dan pada gilirannya produsen enggan untuk memperluas usahanya.



1.2.Konsep Ekonomi Dalam Agama Buddha
            Banyak orang bekerja keras tetapi tidak bisa menjamin kebutuhannya. Diantaranya, seperti hasil pemantauan Kepala Dinas P & K Jawa Tengah, banyak guru yang menjadi setres karena kondisi ekonominya yang kurang mencukupi. Produktivitas seorang guru, atau pegawai negeri umumnya, yang telah bekerja keras secara halal pada jam kerja, tidak dengan sendirinya langsung meningkatkan penghasilan. Lain alnya produktivitas seorang pengusaha atau wiraswasta dapat segera mempengaruhi tingkat perolehanya.
Kebanyakna orang bekerja mendapatkan uang. Dalam proses dilapangan bersaing selain mendaptkan uang sebanyak-banyaknya tapi juga ego pun semakin besar pula. Tetapi bagi orang yang bekerja sebagai amal ibadah atau demi suatu pengabdian, yang bertujuan menyempurnakan diri (menempurnakan paramita). Menurut Hukum Kamma, barang siapa yang menanam maka cepat atau lambat ia akan memetik atau mendapatkan hasil dari kamma baik. Jika yang ditanam tersebut adalah perbuatan bajik, tetapi jika menanam perbuatan jahat maka yang diperoleh adalah penderitaan.
Orang yang mengejar kekayaan hanya untuk mendapatkan kebahagiaan dengan membuat orang lain bahagia. Hal itu bisa dilakukan, seperti yang terdapat di dalam Anguttara Nikaya V, 4:41, yaitu ”kekayaan diperoleh karena bekerja denagn giat, dikumpulkan dengankekuatan tanggan dan cucuran keringat sendiri secara halal, berguna untuk kesanangan dan mempertahankan kebahagiaan dirinya sendiri, untuk memelihara dan membuat orang tuanya bahagia; demikian pula membahagiakan istri dan anak-anaknya, membahagiakan para karyawan dan anak buahnya. Inilah alasan pertama untuk mengerjar kekayaan.”

PENGERTIAN EKONOMI
    Ekonomi dalam kamus pintar bahasa Indonesia oleh Nanda Santoso, diartikan sebagai perihal mengurus dan mengatur kemakmuran yang berkaitan dengan masalah keuangan, perdagangan dan sebagainya, ilmu rumah tangga Negara.
Sedangakan menurut kamus ilmiah popular oleh Pius A Partanto dan M. Dahlan Al Barry, ekonomi adalah segala usaha manusia dalam memenuhi kebutuhannya guna mencapai kemakmuran hidupnya; pengaturan ruah tangga.
Konsep ekonomi buddhis yaitu penghiupan/mata pencaharian benar yang terdapat di dalam Jalan Mulia Berunsur Delapan. Menyebabkan perlunya ekonomi buddhis memiliki beberapa implikasi, yaitu sebagai berikut:
1. Ia mengindikasikan pentingnya Mata Pencaharian Benar (ilmu ekonomi) dalam agama Buddha.
2. Ilmu ekonomi dianggap hanya sebagai salah satu diantara sekian banyak faktor (secara tradisional ada delapan faktor) yang membentuk jalan hidup yang benar, yaitu jalan yang bisa menyelesaikan masalah kehidupan.
Menurut para ahli Ekonomi buddhis tidak hanya mempetimbangkan nilai-nilai etika dari suatu kegiatan ekonomi , tetapi juga berjuang untuk memahami realitas dan mengarahkan kegiatan ekonomi pada keharmonisan dengan ”hal seperti apa adannya”.
Dalam Anguttara Nikaya IV, 285 Sang Buddha menjabarkan bahwa keberhasilan usaha kita paling sedikit tergantung pada empat faktor utama yaitu:
1. Utthanasampada
       Rajin dan bersemangat di dalam bekerja. Semangat, menduduki urutan pertama untuk menentukan kesuksesan kita karena pekerjaan kita tidak akan berhasil bila dikerjakan dengan setengah hati.
Unsur dalam semangat adalah keinginan untuk menjadi orang nomor satu di lingkungan kita .
Selain keinginan menjadi orang nomor satu, uang, kekuasaan dan status juga dapat memacu semangat kita.
Semangat bekerja akan mudah didapat bila jenis pekerjaan yang dilakukan adalah menjadi kesenangan kita atau kalau dapat bahkan sejalan dengan hobby atau bakat kita.
Dalam menghadapi situasi ekonomi saat ini yang sangat ketat persaingannya maka kepandaian saja bukanlah satu-satunya jaminan keberhasilan namun KETRAMPILAN atau KEMAMPUAN KHUSUS menjadi factor penting menuju kesuksesan, disamping kerja keras, pelatihan, pengalaman dan strategi, tentu saja.
Buddha Dhamma memandang kerja itu paling sedikit mempunyai tiga fungsi, yaitu:
1. Memberi kesempatan kepada orang untuk menggunakan dan mengembangkan bakatnya.
2. Agar orang dapat mengatasi egoismenya dengan jalan bergabung dengan orang lain untuk melaksanakan tugasnya.
3. Menghasilkan barang dan jasa yang perlu untuk kehidupan yang layak.
Kerja hendaknya dijadikan sumber kesenangan, kesempatan untuk mengembangkan kreatifitas, sarana untuk mengungkapkan potensi diri, dan mengembangkan bakat seseorang.
Pekerjaan akan menjadi sarana membentuk watak, memupuk persaudaraan dengan sesama manusia dan juga menyejahterakan kehidupan kita.

2. Arakkhasampada
          Penuh hati-hati menjaga kekayaan yang telah diperoleh. Memelihara kesuksesan adalah hal pokok kedua yang kadang diremehkan oleh sebagian orang yang telah merasa berhasil dalam usahanya.
Menjaga kesuksesan di sini termasuk menjaga SISTEM YANG DIGUNAKAN dan HASIL YANG DIDAPAT serta berusaha untuk lebih meningkatkannya lagi.
Meningkatkan sistem yang dipakai dan sekaligus akan meningkatkan hasil produksi kita dalam menejemen modern dikenal dengan istilah SWOT - Strength, Weakness, Opportunity, Threat. Hal serupa juga telah diuraikan caranya oleh Sang Buddha dalam salah satu unsur Jalan Mulia Berunsur Delapan yaitu DAYA UPAYA BENAR.
Evaluasi ini disebutkan sebagai empat cara (Padhana) yang terdapat dalam Anguttara Nikaya II, 16 :
a. Sangvarappadhana :
Usaha agar kekurangan yang BELUM dimiliki tidak timbul dalam diri kita, bandingkan dengan Opportunity.
b. Pahanappadhana :
Usaha untuk menghilangkan kekurangan yang SUDAH dimiliki, bandingkan dengan Weakness.
c. Bhavanappadhana :
Usaha untuk menumbuhkan kelebihan yang BELUM dimiliki, bandingkan dengan Threat.
d. Anurakkhappadhana :
Usaha untuk mengembangkan kelebihan yang SUDAH dimiliki, bandingkan dengan Strength.
Jadi, setelah mencapai keberhasilan suatu usaha hendaknya kita mau mencari faktor-faktor yang menyebabkannya dan kemudian berusaha untuk lebih meningkatkannya lagi, sedangkan bila menemui kegagalan pun haruslah ia dijadikan sahabat kita.Kegagalan itu ibarat persimpangan jalan yang paling penting menuju kerja yang lebih termotivasi.

3. Kalyanamittata
     Memiliki teman yang bersusila Dalam pengertian Buddhis, teman dan lingkungan yang baik akan memberikan pengaruh cukup besar untuk kemajuan usaha kita.
Teman tersebut akan mampu memberikan ide-ide segar dan dukungan moral agar kita maju dalam usaha.
Digha Nikaya III, 187 memberikan kriteria dasar teman yang dapat memajukan usaha kita sebagai berikut :
a. Teman yang mampu dan mau membantu didalam berbagai cara
b. Teman yang simpati di kala suka dan duka
c. Teman yang mampu dan mau memperkenalkan kita pada hal-hal yang bermanfaat untuk kemajuan usaha kita
d. Teman yang memiliki perasaan persahabatan yaitu dapat memberikan kritik membangun dan jalan keluarnya, serta dapat memberikan pujian yang tulus agar memberikan dorongan semangat.
Sedangkan agar dapat memperoleh serta membina teman yang baik dan juga termasuk rekanan kerja yang sesuai, Anguttara Nikaya II, 32 menguraikan hal-hal perlu kita laksanakan :
1. Dana : Kerelaan
2. Piyavaca : Ucapan yang menyenangkan dan halus
3. Atthacariya : Melakukan hal-hal yang berguna untuk orang lain
4. Samanattata : Memiliki ketenangan batin, tidak sombong

4. Samajivita
     Hidup sesuai dengan pendapatan, tidak boros dan juga tidak kikir. Materi dalam Agama Buddha bukanlah musuh yang harus dihindari, namun ia juga bukan pula majikan yang harus kita puja.
Hendaknya kita bersikap netral terhadap materi serta mampu mempergunakannya sewajarnya sesuai dengan kebutuhan.
Digha Nikaya III, 188 mengajarakan penggunaan materi yang seimbang dilakukan dengan membagi keuntungan yang didapat dalam beberapa bagian :
50% : dipakai untuk menambah modal usaha
25% : digunakan untuk membiayai hidup sehari-hari
25% : disimpan sebagai cadangan di saat darurat, untuk berdana dan kegiatan sosial lainnya.
Dengan menggunakan rumus di atas, kemewahan dan kekikiran menjadi relatif sifatnya.
Kita tidak akan gampang mengatakan seseorang hidup bermewah-mewah ataupun sebaliknya kikir dengan hanya melihat sepintas pengeluarannya.
Semua pengeluaran hendaknya disesuaikan dengan pandapatan sehingga dengan demikian pastilah kemajuan ekonomi tercapai. Salah satu kesalahan yang dilakukan kebanyakan dari kita ialah kurang mengendalikan pengeluaran padahal dengan menekan biaya serendah mungkin akan memaksimalkan keuntungan.
Tugas yang harus dilaksanakan untuk meningkatkan pancapaian saat ini adalah :
1. Semangat dan kerja keras menghasilkan kekayaan.
2. Perawatan dan perhiasan menambah kecantikan.
3. Melaksanakan pekerjaan pada saat yang sesuai menjaga kesehatan.
4. Persahabatan sejati menumbuhkan kebajikan.
5. Pengendalian indria menjaga kehidupan suci.
6. Menghindari sengketa menumbuhkan persahabatan.
7. Pengulangan menghasilkan pengetahuan.
8. Bersedia mendengar dan bertanya menumbuhkan kebijaksanaan.
9. Mempelajari dan menguji memperdalam Buddha Dhamma.
10. Kehidupan yang benar menghasilkan kelahiran di alam-alam sorga.
Sang Buddha membekali kita dalam melakuakan pekerjaan apapun, yaitu dengan:
1. Semangat, munculnya semangat harus didukung dengan mengerti apa tujuankita mengerjakan suatu pekerjaan itu.
2. Hendaknya kita harus bias menjaga hasil usaha kita, yaitu dengan merawatnya.
3. Hendaknya kita harus mempunyai teman atau lingukngan yang mendukung, yang bias membantu supaya pemeliaraan tersebut berjalan terus. Tema yang baik mendorong kita bertambah maju dengan menganjurkan hal-hal yang baik, tetapi teman yang tidak baik justru menarik kita untuk selalu mundur dengan menganjurkan hal-hal yang tidak baik yang akan memerosotkan moral dan menghanculkan hasil usaha kita dapatkan dengan susah payah.
4. Hendaknya kita bias menggunakan hasil tersebut secara bijaksana. Menggunakan hasil tersebut dengan tidak terlalu pelit tetapi juga tidak terlalu boros.
Konsep ekonomi dalam agama buddha adalah 1) bekerja keras tanpa membuang-buang waktu mereka yang sangat berharga untuk mendapatkan uang, 2) menabung untuk masa depan untuk menopang keluarga, 3) memenuhi tugas dan kewajiban hati-hati dengan mengeluarkan uang dari apa yang dihasilkan dengan tanpa boros (D.iii.31). Tidak menunda suatu pekerjaan apapun merupakan konsep dasar dalam pencarian kekayaan (D.iii.31). Dalam memenuhi perekonomian, manusia harus aktif agar perekonomian yang dicapai dapat seimbang.

Peran Ekonom­i dalam pandangan Buddhis
”Dengan harta kekayaan yang dikumpulkannya dengan bersemangat, dengancara-cara yang sah dan tanpa kekerasan, seseorang dapat membuat dirinya bahagia, juga orang tuanya, istri dan anak-anaknya, pelayan dan bawahannya, sahabatnya, kenalannya dan orang-orang lain;...dapat mempertahankan kekayaannya;...memberikan hadiah dan persembahan kepada sanak saudara, tamu-tamu, arwah leluhur, dan para dewa;...membayar pajak kepada pemerintah dan mempersembahkan pemberian kepada orang-orang suci, untuk mengumpulkan pahala.” (AguttaraNikāya, 67).
Penghidupan Benar Menurut Agama Buddha
Lima macam perdagangan/pekerjaan yang harus  dihindari seperti yang dijelaskan dalam Aguttara Nikāya. “Inilah, para bhikkhu, lima perdagangan yang seharusnya tidak dijalankan oleh seorang pengikut awam: berdagang senjata, berdagang makhluk hidup, berdagang daging, berdagang benda-benda yang memabukkan, berdagang racun.” (AguttaraNikāya, 110).
Mata pencaharian yang benar adalah segala bentuk pekerjaan yang sah dan dari keringat sendiri. Bukan dari hasil merampok atau mencuri milik orang lain. Pekerjaan yang benara dalah pekerjaan yang tidak merugikan makhluk lain dan diri sendiri.


Manajemen Ekonomi Buddhis
      Sang Buddha memberikan  suatu bentuk manajemen ekonomi yang seimbang dalam kehidupan masyarakat. ”Bila perumah tangga yang baik mengumpulkan harta. Ia  dapat membantu handaitaulannya. Dalam empat bagian hendaklah dibaginya harta itu. Maka melekatlah padanya kemudahan-kemudahan hidup. Satu bagian dibelanjakan dan dinikmati buahnya. Duabagian untuk meneruskan usahanya. Bagian keempat disimpannya baik-baik, untuk persediaan pada masa-masa sulit.” (Wowor. TanpaTahun: 54).
Cara Sukses Dalam Perspektif Buddhis
      Chanda           : kepuasan dan kegembiraan di dalam mengerjakan hal-hal yang sedang dikerjakan.
      Viriya  : usaha yang bersemangat di dalam mengerjakan sesuatu.
      Citta    : memperhatikan dengan sepenuh hati terhadap hal-hal yang sedang dikerjakan tanpa membiarkannya begitusaja.
      Vimasa         : merenungkan dan menyelidiki alasan-alasan di dalam hal-hal yang sedang dikerjakan.

II.                MANAJEMEN EKONOMI DALAM AGAMA BUDDHA

Kehidupan sebagai perumah tangga bertanggung jawab terhadap keluarga tidak  terlepas dari persoalan ekonomi, maka diperlukan cara  mengatur ekonomi rumah tangga, untuk mencapai kesejahteraan hidup. Buddha tidak mengajarkan ilmu ekonomi, tetapi prinsip moral dan agama yang diajarkan-Nya, melatar belakangi ilmu ekonomi bagi pemeluk agama Buddha. Ekonomi Buddhis adalah cara memperoleh kekayaan dengan memiliki mata pencaharian yang benar dan menggunakan dengan cara yang benar pula. Kehidupan dalam agama Buddha ada dua pilihan yaitu hidup sebagai perumah tangga dan kehidupan sebagai samana. Perumah tangga penyokong keluarga dan kehidupan petapa tidak memiliki ikatan keduniawian (Sn.220). Kehidupan perumah tangga memiliki ikatan-ikatan duniawi, keterikatan pada anak, istri dan harta kekayaan jauh lebih kuat dari belenggu yang dari besi, kayu ataupun tali jerami (Dhp.345).
Ilmu ekonomi agama Buddha dipandang berbeda dengan ilmu ekonomi yang berdasarkan materialisme modern. Penganut Buddha mengutamakan pada pembebasan, sedangkan kaum materialisme berminat pada barang. Buddha mengajarkan Jalan Tengah,  bukan    berarti    memusuhi kesejahteraan materiil. Harta bukan  merupakan  penghalang  untuk  mencapai pembebasan,  namun  keterikatan  pada  kekayaan  itu  yang  menimbulkan  penghalang, mengalami segala yang dinikmati tidak salah, tanpa kehausan akan yang dinikmati (Wijaya-Mukti.2003.402).
Ekonomi Buddhis tidak mengukur segalanya dengan uang, namun dasar ekonomi Buddhis adalah kesederhanaan dan tanpa kekerasan. Ekonomi modern menganggap konsumsi dan faktor-faktor produksi, tanah, buruh dan modal sebagai alat. Ilmu ekonomi modern berusaha memaksimalkan konsumsi dengan pola produksi yang optimal (Wijaya-Mukti.2003.402).
Pemikiran Buddhis memaksimumkan kepuasan manusia dengan pola konsumsi optimal, perumah tangga yang giat bekerja, mengumpulkan kekayaan dipergunakan untuk menimbun jasa kebajikan. Perumah tangga yang pada masa mudanya tidak menjalankan kehidupan suci, tidak juga mengumpulkan kekayaan, akan merana seperti bangau tua yang tinggal di kolam tanpa ikan (Dhp.155). Kesucian dan kekayaan merupakan dua hal yang  tidak bertentangan, kehidupan  spiritual dan material saling menunjang dan mendukung.
Kegiatan mengumpulkan uang tidak berhubungan dengan agama, namun orang bisa taat beragama dengan harapan mendapatkan berkah berupa kekayaan. Agama tidak hanya memberi kekayaan rohani bagi penganutnya, tetapi juga menjanjikan kekayaan duniawi. Setiap manusia wajar mengharapkan kekayaan, nama baik atau kedudukan, berumur panjang dan setelah meninggal dunia terlahir di surga. Keempat hal itu akan dapat diperoleh pada waktunya dengan memiliki keyakinan, moral kebajikan, kemurahan hati dan kebijaksanaan (A.IV.281-283).
 Perumah tangga dalam mengatur ekonomi yang diperoleh dengan cara seimbang tidak melebihi dari penghasilan. Perumah tangga yang menjadi seorang pengusaha atau memiliki penghasilan yang basar dengan membagi kekayaan seperti yang diajarkan oleh Sang Buddha. “Kekayaan yang diperoleh dibagi menjadi empat bagian, sebagian dibelanjakan untuk kebutuhan sehari-hari, dua bagian digunakan untuk modal usaha, sebagian untuk ditabung untuk berjaga-jaga pada saat sulit” (D.III.188).
Perumah tangga memperoleh kekayaan dengan bekerja keras dan digunakan dengan sebaik-baiknya. Penggunaan kekayaan dimanajemen dengan baik sehingga kesejahteraan keluarga tercapai,  kemajuan  ekonomi rumah tangga diukur dari fakta penalokasian kekayaan seperti yang diajarkan Sang Buddha.
Kekayaan yang diperoleh dengan benar, dibelanjakan dengan penuh kewaspadaan, sesuai dengan kebutuhan dengan mempertimbangkan kesehatan dan mendahulukan kebutuhan primer daripada kebutuhan sekunder. Makanan, bahkan yang berupa sisa sekalipun, pantang disia-siakan, perbuatan membuang bilasan periuk atau mengkuk yang dicuci disungai dan kolam dengan harapan makhluk-makhluk di dalamnya mendapatkan makanan, diakui akan menghasilkan kebajikan (A.I.16).
Penggunaan kekayaan dengan cara yang benar, tanpa kekerasan, akan memperoleh kesenangan dan kenikmatan bagi diri sendiri,  membaginya dengan orang lain, serta melakukan perbuatan-perbuatan terpuji, mengunakan tanpa keserakahan, tanpa keterikatan, bebas dari kejahatan, waspada dan tiada tercela (S.IV.332).
Tabungan untuk berjaga-jaga dalam menghadapi bencana kebakaran, kebanjiran, kehilangan, tekanan penguasa, musuh, simpanan dibatasi seperempat bagian  kelebihan harta menjadi bagian yang dipergunakan untuk kepentingan orang lain, dengan berbagai kebagi kebahagiaan atau meningkatkan produktivitas.  Bagian kekayaan lebih bermanfaat digunakan untk menambah unit produksi atau modal usaha, membuka lapangan kerja baru ketimbang hanya dijadikan simpanan saja.
Penggunaan kekayaan yang sesuai dengan ajaran Buddha  diterapkan setiap perumah tangga, kesejahteraan ekonomi keluarga akan dicapai. Tingkat kemajuan ekonomi keluarga, menurut pandangan Buddhis diukur dari pengalokasian kekayaan seperti yang diajarkan oleh sang Buddha. Buddha mengingatkan, bahwa kebahagiaan karena memiliki usaha sendiri ( Atthi-sukha), adanya kekayaan yang dapat dimanfaatkan (bhoga-sukha), kebahagiaan itu pantas dinikmati karena tidak mempunyai utang ( anana-sukha) dan tidak melakukan pekerjaan atau perbuatan yang tercela (anvajja-sukha) (A.III.68 ).
Berdasarkan uraian di atas yang menjadi penyebab penderitaan rumah tangga adalah manajemen ekonomi yang tidak matang, sehingga perumah tangga dalam menggunakan kekayaan, pembelanjaan melebihi penghasilan. Manajemen ekonomi rumah tangga bertujuan untuk mengatur penggunaan penghasilan dengan cara seimbang untuk mencapai kesejahteraan hidup keluarga. Di dalam agama Buddha mencapai kesejahteraan ekonomi dalam rumah tangga untuk menopang kesejahteraan spiritual yang merupakan salah satu sarana untuk mencapai pembebasan.

B.     TINJAUAN EKONOMI BUDDHIS
Sebelum penulis mendifinisikan tentang ekonomi terlebih dahulu penulis akan mengetengahkan beberapa pendapat dari beberapa ahli. Ekonomi adalah “pengetahuan dan penyelidikan mengenain asas-asas penghasilan (produksi), pembagian (distribusi) dan pemakaian barang-barang serta kekayaan, urusan rumah tangga dan kehematan” (Poerwadarminta.1987.267). Kata ekonomi berasal dari kata “oekosnomos yaitu pengelolaan rumah tangga” (Wijaya-Mukti.2003.392). Jadi ekonomi adalah pengelolaan penghasilan, pembagian dan pemakaian barang-barang serta kekayaan dalam rumah tangga.
1.  Pengertian Ekonomi Menurut Buddhis.
Prinsip-prinsip ekonomi dalam tradisi Zen diungkapkan “Tidak ada brang satupun yang menyamai makan dan berpaiakan. Diluar itu tidak ada Buddha ataupun Patriak”. Penghayatan dan penyembpurnaan batin yaitu realisasi Dhamma, diperoleh dari kehidupan sehari-hari. Menurut Han Shan dalam syairnya yang dipetik oelh Krisnanda Wijaya-Mukti
( 391) mengemukakan:
A.    Berbicara tentang makanan tak akan mengenyangkan perutmu
B.     Menggerutu tentang pakaian tak akan menghangatkan tubuh
C.     Hanya semangkok nasi yang dapat membuat perutmu kenyang
D.    Cuma diperlukan sepotong pakaian membuat hangat badan
E.     Tetapi tidak berhenti untuk berbincang tentang maslaha ini
F.      Engkau terus berkata bahwa Buddha sukar ditemukan
G.    Tariklah pikiranmu ke dalam. Di sanalah ditemukan
 Mengapa mencarinya keluar?

Ekonomi pada umumnya menfokuskan perhatian kepada kepentingan manusia, sehingga sering melanggar kepentingan makhluk lain. Ekonomi selalu berpengaruh pada ekologi dan ekologi mempengaruhi ekonomi. Agama Buddha bertujuan untuk mensejahterakan hidup semua makhluk, sehingga berkepentingan terhadap ekonomi dan ekologi, Ekonomi menyangkut makanan, pakaian dan sumber daya alam yang tersedia.
Manusia memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup dengan menggunakan akal budaya. Akal budaya yang dikembangkan dengan baik mendorong manusia untuk mencari nafkah atau pendapatan yang dapat dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Mencari nafkah hanya dapat diperoleh dengan bekerja dan berkarya.
Ilmu ekonomi secara implisit maupun eksplisit mengetahui adanya perjuangan untuk hidup, yaitu persaingan bebas. Dalam teori Adam Smith, persaingan bebas adalah persaingan pengusaha dan masyarakat umumnya. Buddhis menghindari persaingan bebas yang tidak sehat, pertikaian menciptakan situasi menang dan kalah. Dalam perselisihan akan binasa (Dhp.6).
Buddha tidak mengajarkan ilmu ekonomi, tetapi prinsip moral dan gama yang diajarkan melatar belakangi ilmu ekonomi pemeluk agama Buddha. Prinsip-prinsip ini bisa tidak dipahami secara totalitas, tidak komperehensif diterapkan dalam kegiatan ekonomi sehari-hari. Sumacher menyimpulkan bahwa ilmu ekonomi agama Buddha itu pasti ada. Mata pencaharian atau penghidupan yang benar adalah salah satu unsur dari jalan mulia berunsur delapan di dalam agama Buddha.
Perumah tangga yang menjalankan penghidupan benar tidak akan merugikan mahkluk lain. Mata pencaharian yang baik tidak mencelakakan, tidak menyakiti atau membuat pihak lain menderita. Buddha memperhatikan baik buruknya suatu barang diperdagangkan, sehubungan dengan ajaran sila. “Lima perdagangan yang harus perlu dihindari yaitu berdagang senjata, mahkluk hidup, daging, minuman keras dan racun” (A.III.207).
Ekonomi Buddhis tidak mengukur segalanya dengan uang, namun ekonomi Buddhis adalah kesederhanaan dan tanpa kekerasan. Namun kesederhanaan dalam sistem ekonomi Buddhis tidak identik dengan kemiskinan. Menanggulangi kemiskinan merupakan prioritas utama yang dilakukan oleh perumah tangga yang baik dengan memiliki penghidupan yang benar. Kemiskinan dan kemelaratan mendatangkan berbagai bentuk kejahatan. Dari kemiskinan muncul pencurian, tindak kekerasan, pembunuhan, dustam fitnah, dan zina (D.III.65-75).
Penanggulangan kemiskinan dengan cara mengatur keseimbangan antara pengeluaran  yang disesuaikan dengan pendapatan. Disamping itu juga perumah tangga perlu memiliki pekerjaan yang baik dan benar untuk memperoleh perhasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
2. Konsep Manajenem Ekonomi Rumah Tangga Buddhis.
Manajemen adalah proses merencanakan dan mengambil keputusan, mengorganisasikan, mempimpin dan mengendalikan sumber daya manusia, keuangan, fisik dan informasi guna mencapai sasaran organisasi dengan cara yang efisien dan efektif (Ensiklopedi Nasional Indonesi.1990.115). Manajenmen ekonomi timbul karena usaha manusia untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran dalam kehidupan sehari-hari.
 Manajemen Ekonomi Buddhis adalah suatu proses perencanaan, pengorganisasian, pengaturan, pengendalian serta penggunaan sumber daya ekonomi untuk mencapai tujuan perekonomian yang dipengaruhi ajaran agama Buddha. Dalam pengelolaan sumber daya, seorang Buddhis hanya memanfaatkan apa yang dibutuhkan seperlunya. Untuk mencapai kesejahteraan seseorang memerlukan pekerjaan, sehingga mendapatkan penghasilan atau kekayaan. Bekerja membuat hidup menjadi lebih baik, sekaligus membuat hidup berarti bagi orang lain. Alasan pertama untuk mengejar kekayaan bukian hanya untuk menyenangkan diri sendiri, tetapi juga memelihara dan membuat keluarga, karyawan dan pengikutnya bahagia (A.III.45).
Seorang pekerja yang bekerja untuk kepentingan orang lain, tetapi sesungguhnya bekerja untuk diri sendiri. Dengan bekerja mengembangkan potensi yang dimiliki secara maksimal berarti mengaktualisasi diri. Setiap orang mempunyai arah tujuan sendiri untuk menciptakan masa depannya. Diri sendiri sebagai pelindunng bagi dirinya, karena itu orang perlu mengendalikan diri untuk memenuhi kebutuhan sendiri juga bergantung pada diri sendiri.
Setiap individu memerlukan motivasi yang menyebabkan berbuat atau bertingkah laku, sesuai dengan visi dan misi yang ingin dicapai untuk memeproleh kesejahteraan. Semua orang dengan senang hati akan melakukan perbuatan yang memberi keuntungan bagi diri sendiri, keuntungan tidak selalu berbentuk materi, tetapi pada umumnya satu pekerjaan menghasilkan keuntungan yang bersifat psikis. Menurut George R. Terry, hal-hal yang mempengaruhi motivasi adalah keinginan dan kebutuhan tujuan dan persepsi dari individu atau kelompok, cara mencapai kebutuhan dan tujuan.
Perumah tangga mencari kekayaan dan menggunakan kekayaan yang dimiliki tidak terikat dengan kekayaan, karena keterikatan dapat menimbulkan penderitaan. Cara pengumpulan harta dengan cara-cara yang tidak jujur, melanggar hukum, kikir, menghabiskan dengan sia-sia atau tidak digunakan untuk mengurangi penderitaan orang lain merupakan cara pengumpulan harta yang tidak benar. Mencari kekayaan dengan cara yang tidak benar, melakukan kejahatan, tidak akan memperoleh kebahagiaan, karena tidak pernah dapat hidup dengan tentram. Tercela karena membuat tidak membuat orang lain bahagia dan tidak menghasilkan jasa kebajikan (S.IV.331). Perumah tangga yang pantas dipuji akan mencari harta dengan cara yang baik dan mempergunakan untuk kebaikan dan kebahagiaan dirinya dan orang lain. Perumah tangga akan memberikan sokongan pada sangha dengan harta yang dimiliki serta menggunakan dalam usaha untuk melenyapkan penderitaan dan kemiskinan yang diderita oleh orang lain.
Seseorang yang mengumpulkan kekayaan, dengan cara yang sah dan tanpa kekerasan maka akan memperoleh kenikmatan dan suka cita, membaginya dengan orang lain serta melakukan perbuatan baik, menggunakannya tanpa keserakahan dan kehausan, tanpa melakukan pelanggaran-pelanggaran, menyadari bahaya dalam menyalah gunakan dan sadar akan tujuan hidupnya yang tertinggi, maka ia patut dipuji dan tidak dicela (S.IV.332).
Kekayaan yang diperoleh dengan cara yang benar dan sah dipergunakan sesuai dengan kebutuhan sehari-hari, dengan penuh kewaspadaan, ketelitian dan mempertimbangkan kesehatan. Kekayaan yang diperoleh dibagi menjadi empat bagian , sebagian dibelanjakan dan dinikmati, dua bagian digunakan sebagai modal usaha dan sebagian ditabung untuk persediaan pada saat sulit (D.III.188).
Perumah tangga yang berkecukupan dalam bidang ekonomi tidak terlena dalam kemewahan yang ada, tidak hidup berfoya-foya karena perbuatan itu akan membawa kemerosotan dalam kehidupan. Senang bermain perempuan, mabuk-mabukan, berjudidan menghambur-hamburkan apa yang telah diperolehnya, ini penyebab kemerosotan (Sn.106). Kewaspadaan, keteilitian dan hemat diperlukan dalam mengatur ekonomi rumah tangga, ekonomi yang teratur akan membawa kesejahteraan hidup keluarga. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya perumah tangga bekerja dengan sekuat tenaga, Buddha mencela kebiasaan bermalas-malas.

III.           Bisnis Dalam Pandangan Agama Buddha
Sang Buddha menganggap kesejahteraan ekonomi sebagai salah satu syarat bagi kenyamanan manusia, tetapi pengembangan moral dan spiritual adalah syarat bagi kehidupan yang bahagia, damai dan memuaskan (Sri Dhammananda, Keyakinan Umat Buddha : 178)
            Agama buddha tidak memandang kesejahteraan materil sebagai tujuan akhir, kesejahteraan materil hanya merupakan alat untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi dan luhur. Oleh sebab itu Agama Buddha mengakui perlunya suatu kesejahteraan materil yang minimum untuk mencapai sukses.
            Cakkavattisihanada sutta : Digha Nikaya (26). Sang Buddha menyatakan bahwa kemiskinan yang sangat adalah sebab utama dari perbuatan-perbuatan yang tidak bermoral dan kejahatan seperti pencurian, penipuan, pemerasan, kebencian, kekejaman, adu domba dll
            Untuk melenyapkan kejahatan, Agama Buddha menganjurkan agar keadaan perokonomian rakyat diperbaiki. Pendidikan perekonomian sangat diperlukan. Disinilah pentingnya suatu usaha yang mandiri (wirausaha) dikembangkan. Banyak keuntungan-keuntungan yang didapat dengan pengembangan wirausaha Buddhis.
(Angutara nikaya III, hal 45) : dengan kekayaan yang dikumpulkan dengan semangat dan halal seseorang dapat membuat dirinya bahagia, juga orang tuanya dan orang-orang lainnya; dapat mempertahankan kekayaannya; memberikan hadiah dan persembahan kepada sanak saudara; tamu-tamu, arwah leluhur dan para dewa; membayar pajak kepada pemerintah dan pemberian kepada orang-orang suci untuk mengumpulkan karma baik.
Miskin = celaka
(Angutara Nikaya, III, Hal 351) Menurut Sang Buddha sesorang yang miskin dapat mengalami hal-hal sebagai berikut :
1.      Terlibat hutang.
2.      Harus membayar bunga pinjaman.
3.      Hidupnya dikejar-kejar untuk membayar hutang.
4.      Mengalami kebangkrutan.
5.      Akhirnya masuk penjara.
(Dhammapada-Atthakata I, hal 238) Menurut Sang Buddha jika seseorang sungguh-sungguh bekerja menjalankan kewajibannya, selalu waspada, murni tindak-tanduknya, terkendali dirinya dan sadar, jika ia hidup sesuai dengan dhamma, dan sungguh-sungguh,kemuliaan akan terus bertambah.
(Angutara Nikaya II, 32) Kemakmuran dan kemasyuran akan diperoleh apabila melakukan hal-hal sebagai berikut:
1.      Hidup diderah yang sesuai.
2.      Bergaul dengan orang-orang yang baik.
3.      Penyiapan diri yang baik.
4.      Menyimpan jasa yang dikumpulkan dalam kehidupan-kehidupan yang lampau ia akan memperoleh kesempatan untuk mencapai kemasyuran dan kekayaan (memiliki karma lampau sebagai pendukung).
(Jataka I, hal 122) Sekalipun dengan modal kecil, jika seseorang cukup cerdas dan terampil, ia akan dapat mengangkat dirinya pada kedudukan yang lebih tinggi, bagaikan orang yang memperoleh api yang besar dengan meniup api yang kecil.
Dari penjelasan sutta-sutta diatas jelaslah bahwa Sang Buddha juga mendukung suatu bentuk kemandirian / wirausaha bagi seseorang, dengan berangkat dari modal yang kecil, ditekuni, digeluti dengan penuh kecermatan dan kewaspadaan, maka ia akan memperoleh kesuksesan besar. Suatu bentuk usaha / wirausaha dapat dilakukan oleh seseorang dengan memanfaatkan modal seadanya dulu, tidak harus dengan modal yang langsung besar. Kepiawaian dalam memanfaatkan peluang yang ada untuk usaha bisnis, sangat berpengaruh terhadapa kesuksesan. Hal ini juga perlu didukung dengan Bala 4 (empat macam kekuatan) yaitu:
1.      Panna-bala : kekuatan dari kebijaksanaan. Wirausaha hendaknya memerhatikan aspek kehati-hatian, penuh pertimbangan berbagai aspek : individu sosial, input-output, income-outcomenya.
2.      Viriya-bala : kekuatan semangat. Kekuatan ini menjadi api penggerak / adhitthana demi berkobarnya suatu bentuk usaha. Semangat memegang peranan untuk menghancurkan kemalasan yang terjangkit dalam diri wirausahawan.
3.      Anavajja-bala : kekuatan dari kesucian. Hal ini melipuri bentuk usaha, bidang usaha dan jalannya usaha yang penuh dengan kebersihan dari usaha kotor (korupsi, penipuan, pemalsuan dll)
4.      Sangaha-bala : kekuatan dari simpati. Seorang wirausahawan / wirausahawati seyogyanya memperhatikan dan membuat orang lain, alam sekitar, masyarakat luas, pemerintah menaruh simpati. Sehingga perusahaan semakin besar dan berkembang. Hal ini dapat dilakukan dengan sikap adanya penghargaan. Di sini dibutuhkan hubungan timbal balik (simbiosis mutualisme), perusahaan menaruh perhatian terhadapa produknya, masyarakat membutuhkan hasil produksi dalam keseharian.
Wirausaha yang benar menurut pandangan Sang Buddha meliputi penghidupan yang menghindari
MICCHAVAINIJJA 5
1.      Sattha-Vanijja             : Berdagang alat senjata
2.      Satta-Vanijja               : Berdagang mahkluk hidup
3.      Manisa-Vanijja             : berdagang daging
4.      Majja-Vanijja              : berdagang minuman yang memabukkan
5.      Visa-Vanijja                 : Berdagang racun
Contoh perdagangan / wirausaha yang dianjurkan Buddha :
1.      Garmen
2.      Sembako
3.      Kendaraan bermotor
4.      Hasil bumi / hutan
5.      Fonitur
6.      Sayuran / mlijo
7.      Jamu sehat
8.      Warung makan vegetarian
9.      Alat-alat rumah tangga
10.  Angkot dll.
Setelah melakukan bentuk wirausaha yang benar menurut hukum dhamma, tentunya kedamaian, ketentraman, dapat dirasakan saat ini maupun nanti setelahmengalami kematian. Semua itu perlu dijaga, dilestarikan agar berkembang dan mekar menjadi besar. Hal ini dapat dilakukan dengan berpedoman pada sabda Sang Buddha dalam Vyagghapajja Sutta sebagai berikut :
1.      Utthana Sampada       : rajin dan bersemangat dalam mencari nafkah.
2.      Arakkha Sampada       : menjaga dengan hati-hati harta yang telah didapat.
3.      Kalyanamitta               : memiliki teman-teman yang baik.
4.      Sammajivita                 : menjalankan hidup yang sesuai dengan penghasila.
Dengan kekayaan yang diperoleh dengan benar, umat Buddha hendaknya melaksanakan kehidupan seimbang. Sang Buddha menjelaskan adanya 4 macam kebahagiaan, yaitu :
1.      Atthi-Sukha                : kebahagiaan karena memiliki harta kekayaan
2.      Bhoga-Sukha              : kebahagiaan karena dapat mempergunakan kekayaan
3.      Anana-Sukha              :  kebahagiaan karena terbebas dari hutang
4.      Anavajja-Sukha           : kebahagian tanpa cela.

(Drs. A. Joko Wuryanto, 2007)
Drs. A. Joko Wuryanto, S. M. (2007). Wirausaha Buddhis. CV. YANWREKO WAHANA KARYA.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar