Kamis, 07 November 2013

DUKKHA

DUKKHA

LATAR BELAKANG

Sutta ini dibabarkan oleh sang Buddha dimana pada saat Sang Buddha merenungkan apakah Dhamma yang Beliau temukan akan diajarkan kepada khalayak ramai atau tidak. Sebab Dhamma itu dalam sekali dan sulit untuk dimengerti, sehingga menimbulkan perasaan enggan dalam diri Sang Buddha untuk mengajarkan Dhamma. Tiba-tiba Brahma Sahampati, penguasa dunia ini, turun dari Brahmaloka dan berdiri dihadapan Sang Buddha.
“Semoga Sang Tathāgatha, demi belas-kasih kepada para manusia, berkenan mengajar Dhamma. Dalam dunia ini terdapat juga orang-orang yang sedikit di hinggapi kekotoran batin dan mudah dapat mengerti Dhamma yang akan di ajarkan. Dari situlah di babarkannya Dhamma Dhammacakkappavattana Suttayang pertama kali oleh Sang Buddha Gotama, bertepatan pada hari purnama Asalha yang merupakan momen penting dalam perkembangan agama Buddha. Yang dibabarkan untuk manusia dibumi yang terjadi di isipatana dekat benares terhadap lima orang pertapa, yaitu Kondana, Bhaddyia, Vappa, Mahanama,dan Asaji. Yang menjelaskan tentang empat kesuyataan mulia dan jalan mulia berunsur delapan, karena adanya petapa yang berpandangan salah dengan cara melakukan petapaan yang extreme yaitu menyiksa diri untuk itu Buddha menganjurkan untuk tidak menyiksa diri dalam melaksanakan pertapan karena itu hanyalah tidak bermanfaat bagi perkembangan spiritualnya. Dengan petapa yang tidak extreme maka akan membawa kebahagian dalam batin dan lenyaplah kekotoran batin.
1.                  Demikianlah telah saya dengar.
Suatu ketika Sang Bhagavā bersemayam di Taman Rusa Isipatana dekat kota Bārāṇasī. Saat itulah Sang Bhagavā memanggil Pañcavagiya-bhikkhu.
2.                  “ Para Bhikkhu, ada dua hal ekstrem yang tidak patut dijalankan oleh mereka yang telah meniggakan rumah sebagai petapa, yani:
A. Menuruti kesenangan hawa nafsu, yang rendah, duniawi, yang dilakukan oleh mereka yang bodoh, yang tidak luhur dan tidak berfaedah,         
B. Melkukan penyiksaaan diri, yang menyakitkan, yang tidak luhur, dan tidak berfaedah.
O para Bhikkhu, Jalan tengah (Majjhimā paṭipadā) yang terhindar dari kedua jalan ekstrem itu, yang telah sempurna diselami oleh Tathāgata, membuka mata batin, menimbulkan pengetahuan, membawa ketenagan, pengetahuan batin luar biasa, kesadran agung, dan pencapaian Nibbāna.
Itulah, O para Bhikkhu, Jalan Tengah yang telah sempurna diselami oleh Tathāgata, yang membuka mata batin, yang menimbulkan pengetahuan, yang membawa ketenagan, pengetahuan batin luar biasa, kesadran agung, dan pencapaian Nibbāna.
3.                  Inilah, O para Bhikkhu, Kebenaran Ariya tentang penderitaan (dukkha ariyasacca), yakni:
Jātipi dukkhā                                                   : Kelahiran adalah penderitaan, 
Jarāpi dukkhā                                                  : Usia tua adalah penderitaan,
Maraṇampi dukkhaṁ                                      : Kematian adalah penderitaan,
Sokaparidevadukkha-                                     : Kesedihan, ratap-tangis, penderitaan
Domanassupāyāsāpi dukkhā                           : (Jasmani), kepedihan hati, dan keputus-asaan adalah penderitaan,
Appiyehi sampayogo dukkho                         : Berkumpul dengan yang tidak disenangi adalah penderitaan,
Piyehi  vipapayogo dukkho                            :Terpisah dari yang disenangi adalah penderitaan,
Yampicchaṁ na labhati tampi dukkhaṁ         :Tidak mendapat apa yang diinginkan adalah penderitaan,
Saṅkhittena pañcupādānakkhandhā dukkhā  :Singkatanya, liam gugusan pembentuk penyebab kemelekatan adalah penderitaan.
Inilah, O para Bhikkhu, Kebenaran Ariya tentang asal mula penderitaan (dukkhasamudaya ariyasaccaI), yakni: Kesengan (taṇha) inilah, yang membuat kelahiaran kembali, yang disertai dengan hawa nafsu dan kegemaran, yang menggemari objek di sana sini, yaitu:
Kāmataṇhā      : Kesengan terhadap nafsu indrawi
Bhavataṇhā     : Kesengan terhadap kemenjadian
Vibhavataṇhā  : Kesengan terhadap ketidak-menjadian
Inilah, O para Bhikkhu, kebenaran Ariya tentang musnahnya penderitaan (dukkhanirodha ariyasacca), yakni: musnahnya kesengan tersebut tanpa sisia karena lenyapnya nafsu, terlepasnya kesenangan, tertolaknya kesenangan, terbebas dari kesenangan, tak terikat oleh kesenangan.

ISI
Dalam iktisar ajaran Buddha dukkha di bagi menjadi empat atau disebut dengan Catur Ariya Saccani (Empat Kebenaran Mulia). Namun dalam hal ini membahas tantang Dukkha.
Dukkha (Paḷi) bisa diaratikan dengan (penderitaan), ketika penderitaan muncul, tidak seorang pun yang dengan mudah bersedia menerimanya. Kecenderungan orang akan beranggapan bahwa penderitaan ini bukan milikku, kebhagian adalah miliku. Namun hal, itu justru semakin menjauhkan orang tersebut dari kedamaian dan malah terus membuatnya menderita. Kemelekatan (attachment) merupakan salah satu sifat dari pengumbaran nafsu keinginan. Semakin seseorang melekat pada sesuatu, semakin sulit pula bagi dia untuk melepaskan diri dari penderitaan dan melihat kebijaksanaan. 
Apakah kebenaran mulia tentang penderitaan (Dukkha), dilairkan adalah penderitaan, menua adalah penderitaan, sakit adalh penderitaan, berpisah dari yang dicintaai ialah  penderitaan: singkatnya dari kelima kelompok unsur dibawah pengaruh kemelekatan adalah penderitaan. Inilah kebenaran mulia tentang penderitaan, yakni: penglihatan, pengatahuan, kebijaksanaan, pemahaman dan  terang yang terbit dalam diriku mengenai hal yang belum pernah terdengar sebelumnya. Kebenaran mulia ini harus ditembus tuntas lewat memahami penderitaan sepenuhnya: demikian pengalihatan, pengetahuan, kebijaksanaan, pemahaman dan terang yang terbit dalam diriku menganai hal yang belum pernah terdengar sebelumnya. Kebenaran mulia ini telah ditembus tuntas lewat memahami penderitaan sepenuhnya: demikianlah penglihatan, pengatahuan, kebikajsanaan, pemahaman dan terang yang terbit dalam diriku mengenai hal yang belum pernah terdengar sebelumnya. Samyutta Nikaya L IV, 11.
Penderitaan atau dukkha adalah ikatan umum yang dialami kita semua. Semua orang dimana-mana menderita. Manusia menderita di masa lalu, di India kuno; di Inggris modern; dan di masa depan pun, manusia juga bakal menderita... Apa kesamaannya antara kita dengan Ratu Elizabeth?-kita sama-sama menderita. Dengan gelandangan di Charing Cross, apa kesamaan kita?-penderitaan. Penderitaan melingkupi semua tingkatan manusia dari kelas elit yang paling sitimewa sampai yang rendah dan tersisih. Semua orang di mana-mana mengalami penderitaan-inilah perikatan antara kita semua, suatu hal yang kita semua paham.
Kebenaran Mulia pertama bukanlah pernyataan metafisik yang suram bahwa semua dalam hidup ini adalah penderitaan. Perhatikan bahwa ada perbedaan antara doktrin metafisik. Kebenaran adalah sebuah fakta yang untuk direnungkan ; ia bukan sesuatu yang absolute; bukan kebingungan karena mereka mengartikan kebenaran Mulia ini sebagai kebenaran metafisik Buddhisme-tetapi ini tak pernah begitu maksudnya.
Menurut  buku Four Noble Truths di dalam kata pali, dukkha, berarti sekedar “tidak mampu memuaskan” atau “tidak mampu menanggung atau menahan apapun”: selalu berubah, tidak bisa untuk benar-benar memuaskan atau membahagiakan kita. Demikianlah dunia inderawi, yang hakekatnya hanya getaran. Namun, tatkala kita sada r akan dukkha, kita pun akan mulai mencari jalan keluar sehingga kita tak lagi selamanya terperangkap dalam dunia-indrawi (Sensory consciousness).
Dengan rumusan kebenaran mulia pertama ini, bahkan kendati misalnya hidup kita memang cukup malang, namun yang kita amati bukanlah bahwa penderitaan yang berasal dari luar sana, melainkan adalah apa yang kita ciptakan dalam pikiran kita sendiri. Ini merupakan keterjagaan (awakening) dalalm diri seseorang. Keterjagaan pada kebenaran mengenai penderitaan. Dan ini adalah kebenaran Mulia karena ini tak lagi menyalah kan duka yang kita alami kepada pihak lain. Oleh karena itu pendekatan Buddhisme sungguh unik di bandingkan agama-agama lain karena penekanan pada jalan-keluar dari penderitaan dengan menggunakakn kebijaksanaan (Wisdom), bebas dari segala delusi, dari pada sekedar memburu sebuauh kenikmatan surgawi atau kemanunggalan dengan Yang Ultimit.
Dalam (DHAMACAKKAPAVATTANA SUTTA), Samyuta Nikaya 56:11, DUKKHA. Fenomena Dukkha (penderitaan), kesunyataan yang pertama berhubungan dengan Dukkha (penderitaan), disini dijelaskan fenomena dari pada Dukkha yang dapat digolngkan dalam dua bagian besar yaitu:
1.      SABHAVA-DUKKHA atau DUKKHA JASMANI
(penderitaan yang mutlak)
a.       JATIPI DUKKHA (lahir)
b.      JARAPI DUKKHA (Tua/Lapuk)
c.       VYADHIPI DUKHA (Sakit)
d.      MARANAMPI DUKKHA (Mati)

2.       PAKINNA-DUKKHA atau DUKKHA BATIN
(Penderitaan yang tidak mutlak)
a.       SOKA                     ( Susah hati/sedih, menyesal)
b.      PARIDEVA             (Merintih karena tidak dapat memutuskan persoaalan)
c.       DUKKHA               (Ketidak bahagiaan badan jasmani, penyakit jasmani)
d.      DOMANASSA        ( Berkecil hati/minder)
e.       UPAYASSA            (Merana)
f.       SAMPAYOGA        (Mendapat sesuatu yang tidak disukai)
g.       VIPPAYOGA          (Berpisah dengan orang/ sesuatu yang disukai)
h.      ALABHA                (Kekecewaan karena tidak mendapatkan apa yang diinginkan)
Kesemua Dukkha tersebut di atas harus dihadapi karena merupakan Dhamma, bukannya di buang, ditelantarkan ataupun dilupakan begitu saja. Dukkha ini tercermin dalam Kelahiran, Ke-Tua-an, Kesakitan, Kematian, dan sebagainya yang kesemuanya itu berada di dalam diri kita masing-masing dan bukanya berada di tempat lain. Selain dari itu masih banyak sekali Dukkha-dukkha lain yang kecil dan halus yang tak terhitung jumlahnya.

PENJELASAN DUKKHA
Dalam Buku Bhikkhu Dharma Bodhi menjelaskan bahwa. Apakah Penderitaan (Dukha) itu ?
Sang Sugata berkata bahwa, “hidup ini adalah penderitaan ( dukkha) ! “, apakakah yang dimaksud dengan penderitaan (dukkha) ?, mengapa ada penderitaan ?, dan bagaimanakah penderitaan itu terjadi?.
            Banyak sekali makhluk atau makhluk manusiapun tidak memahami apa itu penderitaan (dukkha), jika kita bertanya apakah anda lelah atau letih setelah bekerja seharian penuh, maka jawabanya terdapat dua hal.
            Hal yang pertama adalah menjawab “ Ya ”, siapakkah yang tidak mengalami lelah atau letih jika ia bekerja seharaian penuh, belum lagi jika ia didalam pekerjaanya mendapati masalah atau kesulitan-kesulitan yang di sebabkan oleh diri sendiri atau oleh orang lain, baik ia rekan kita ataupun atasan kita atau karena lingkungan kerja kita yang tidak baik, sehingga kita bekerja merasa tidak nyaman atau tidak sesuai dengan kemampuannya.
            Hal yang kedua adalah menjawab “ Tidak ”, karena mereka beranggapan bahwa keletihan atau kelelahan adalah hal yang biasa, jika bekerja seharian penuh. Apalagi di dalam pekerjaannya mereka berprestasi atau atasan mereka, maka keletihan itu berubah menjadi kesengannya, terlebih lagi jika mereka mendapatkan upah dari hasil pekerjaan mereka selama sebulan masa kerja, adalah hasil yang di tunggu-tunggu.
            Apakah kedua hal diatas tersebut sebagai penderitaan. Pengetahuan akan adanya perihal penderitaan bukanlah kedua hal di atas tersebut, tetapi jauh lebih mendalam dan amat luas. Begitulah kehidupan manusia.
Jadi orang yang berbuat baik dengan maksud dan tujuan untuk mencapai keinginan yang lainya pasti akan menemukan kelelahan dan ketegangan yang akhirnya menimbulkan penderitaan, hal ini juga terjadi bagi mereka yang berbuat jahat nilainya akan sama, inilah yang disebut hidup ini penuh dengan penderitaan.
Jadi perjalanan hidup kelhiran sekarang dan perjalanan hidup kelahiran terdahulu dan perjalanan hidup yag kan datang, itulah penderitaan. Tidak ada manusia yang tidak akan mengalami penderitaan, lahir menjadi dewasa, sedih, tertekan, stress, depresi, kelelahan, ketegangan, menjadi tua, sakit dan mati, hal ini juga terjadi pada makhluk hidup yang lainya.
Selam manusia itu belum memiliki pandangan benar, yaitu pengetahuan sejati maka manusia itu kan selalu menderita, karena kunci pengetahuan pembebasan belum-lah di ketahui engan benar. Tilah sebabnya manusia mengalami kelahiran yang berulang-ulang karena manusia tidak mengetahui penyebab timbulnya keinginan untuk menjadi. Dalam kelahiran yang berulang-ulang manusia tidak dapat mampu untuk mengingatnya, bahkan untuk mengrti sekalipun, sudah berapa kalikah manusia mengalami kelahiran yang berulang-ulang ini. Sebenarnya manusia mengalami kelahiran yang berulang-ulang ini sudah sangat banyak dan iini berulang terus menerus. Apakah penyebab kelahiran manusia yang berulang-ulang itu adalah hawa nafsu (Nafsu keinginan).
Penderitaan (dukha) itu dapat kita perhatikan bagai mana terjadinya. Perhatikanlah bagaimana pembentukan akan diri ini terjadi, ketika faktor pengolahan pengetahuan (mental) masak, faktor penyerapan pengetahuan masak, faktor pengetahuan akan rasa  masak, faktor pengetahuan akan masak, faktor pengetahuan pengendalian masak dan fakotr pengetahuan pengendalian masak dan faktor wujud masak, yang kesemuanya membentuk satu kesatuan utuh dan solid dan lalu membentuk  existensi baru dan tinggal pada wujud (badan jasmani), dan badan jasmani memmiliki indera seperti indera melihat (mata), indera pendengaran (Telinga), indera penciuman (Hidung), indera perasa (kulit), dan indera pengecap (Lidah) dan satu hal yang cukup berperan penting adalah faktor mental atau gema suara (pikiran), maka indera-indera iitu melkukan kontak dengan dunianya, setelah melakukan kontak, maka indera-indera itu dapat menilai, mengetahui, merasakan, sehingga hal ini tejadi berulang-ulang, jika hal yang berpengaruh buruk ditinggalkan, namun hal-hal yang dirasakan menyenangkan akan terus dilakukan, maka timbulah keinginan, jika badan jasmani merasakan kenikmatan, maka hal itu dijadikan keinginan yang kuat sampai melekat, dan hal itu terus dipertahankan, meskipun menderita, sehingga kemelekatan itu berwujud, akhirnya makhluk manusia ini harus mengalami penderitaan yaitu lahir, menjadi tua, sakit dan akhirnya mati dan terjadilah tumimbal lahir yang terus menerus, inilah penderitaan (dukha).       



PENYEBAB TIMBULNYA DUKKHA
Kebenaran Ariya pertama yang diplomamirkan oleh Buddha, yaitu : “Segala keberadaan diliputi oleh dukkha.”
Dukkha secara literal berarti ‘ sulit untuk dipikul’ dan sering diterjemahkan sebagai ketidakpuasan atau penderitaan atau kesengsaraan. Ia mencakup semua arti tersebut dan karena kuarang bisa diterjemahkan secara persis (pas) kita tetap menggunnnakan kata ‘Dukha’, yang makna atau artinya akan menjadi lebih jelas dibawah ini.
Keberadaan menunjukkan hadirnya kehidupan yang berarti hadirnya kekuatan yang hidup atau energi. Energi menyiratkan gerakan, perubahan, dan ketidaktetapan. Dengan demikian, karena gerakan dan perubahan, yaitu ketidakabadian, semua makhluk hidup merupakan subjek dari proses keahiaran, usia tua, kesakitan (penyakit) dan kematian yang terus-enerus.
Aspek pertama dari dukkha adalah kelahiaran merupakan dukkha-bayi mengalami ketidaknyamanan dan terguncang-guncang ketika berada di dalam rahim dan keluar dari rahim (lahir) ke dunia merupakan suatu kejutan yang mendadak pula. Usia tua adalah dukkha, Penyakit adalah dukkha, kematia adalah dukkha. Tidak ada makhluk yang hidup abadi. “semua yang meuncul adalah subjek dari kehancuran (kemusnahan)” merupakan ajaran dasar dari Buddha.
Selain itu, dikarenakan oleh perubahan yang konstan, pasti terjadi perpisahan dengan orang—orang yang dicintai-ini adalah dukkha. Ataupun berkumpul dengan musuh-musuh juga merupkan dukkha.
Makhluk-makhluk hidup sesungguhnya tidak tenteram, kita tidak dapat mempertahankan postur tubuh kita yang mana pun untuk jangka waktu yang lama-apakakh itu berdiri, berjalan, duduk, atau tidur-dan secara teru-menerus harus mengubah postur ini juga dukkha. Merapati masa lalu adalah dukkha. Khawatir tentang masa depan adalah dukkha. Tidak memperoleh apa yang dinginkan adalah dukkha memperoleh apa yang diinginka, tetapi tidak cukup banyak adalah dukkha. Memperoleh apa yang diinginkan, tetapi tidak cukup lama adalah dukkha.
BAHAYA, KEBODOHAN DAN KEJAHATAN KENIKMATAN-KENIKMATAN SEKSUAL
BAHAYA
Melekat kapada kenikmatan-kenikmatan seksual adalah kecenderungan untuk semakin lama semakin terikat padanya. Nyala api nafsu-nafsu keinginan merangsang dan mereka bahkan semakin meningkat dan bukannya menjadi reda. Kenikmatan-kenikmatan seksual tidak tersedia secara permanen,tetapi akan berakhir pada suatu hari ketika berkah-berkah seseorang telah habis digunakan.
 KEBODOHAN
Kebodohan atau kesia-siaan kenikmatan-kenikmatan seksual adalah nafsu keinginan akan kenikmatan-kenikmatan  seksual tidak dapat di puaskan. Makhluk-makhluk hidup yang tenggelam dalam kenikmatan-kenikmatan seksual memandang kehidupan hanya sebagai hal yang menyenagkan (merujuk kepada makhluk-makhluk surgawi.mereka tidak mengetahui bahwa ada alam-alam kelahiran kembali yang menyedihkan sedang menanti mereka; mereka tidak melihat pentingnya mengusahakan berkah berkah (dengan melakukan kebajikan dan menghindarai kejahatan) atau berjuang untuk keluar dari siklus kehidupan (Samsara); sebagai gantinya, mereka terus menghabiskan berkah-berkah yang telah mereka peroleh dari kehidupan lampau hingga suatu hari ketika pahala mereka habis terpakai, mereka akan jatuh dari surge kea lam-alam keidupan yang lebih rendah.
KEJAHATAN
Kebejatan kenikmatan-kenikmatan seksual adalah bahwa ia mrupakan suatu ‘penyakit’. Dalam Magandiya Sutta tentang makhluk-makhluk hidup yang terjangkit penyakit seperti lepra/kusta. Luka-luka pada tubuhnya erasa sangat gatal sehingga dia harus menggaruk-garuknya sampai berdarah, infeksi, dan berbau busuk.
Sesungguhnya, kata Buddha, seperti itulah makhluk-makhluk hidup mereka terjangkiti penyakit keinginan  akan kenikmatan-kenikmatan seksual dan mencarinya untuk memuaskan diri mereka sendiri. Oleh karena itu, mereka terus terbakar oleh nyala api hawa nafsu, tidak mengakui (mengenali) kesakitan dan penderitaan yang mereka alami.
Karena nafsu-nafsu keinginan muncullah pertengkaran, perkelahian, dan pembunuhan, bahkan gagasan untuk berperang yang menyebabkan pembunuhan massal yang tiada gunanya terhadap, makhluk-makhluk hidup yang terhitung jumlahnya. Disebabkan oleh perbuatan-perbuatan jahat seperti itu, mereka kembali di alam derita. Kesakitan dan penderitaan seperti itu yang dialami oleh makhluk-makhluk hidup. 
Dalam Cūḷadukkhakkhandha Sutta mengenai pertanyaan Mahānāma keserakahan adalah ketidak sempurnaan yang mengotori pikiran, kebencian adalah ketidak sempurnaan yang mengotori pikiran, kebodohannbatin adalah ketidaksempurnaan yang mengotori pikiran.’
Mahānāma, memang masih ada keadaan yang belum ditinggalkan olehmu secara internal, yang menyebabkan terkadang keadaan-keadaan keserakahan, kebencaian, dan kebodohan batain menyerbu pikiranmu dan tinggal di sana; karena seandainya keadaan itu telah ditinggalkan olehmu secara internal, maka engkau tidak akan menikmati kesenangan-kesenangan indera. Justru karena keadaan itu belum ditinggalkan olehmu secara internallah maka engkau menjalai kehidupan berumah-tangga dan menikmati kesenagan indra.
Dan apakah pemuasan dalam hal kesenagan indera?, ada lima tali kesengan indera ini juga merupakan bahaya di dalam hal kesenagan indera, suatu masa penderitaan di dalam hal kesengan indera, suatu massa penderitaan di dalam kehidupan yang akan datang, yang memiliki kesengan indera sebagai penyebabnya, kesengan indera sebagai sumbernya, kesengan indera sebagai landasanya, penyebanya dalah kesengan indera.
Dapatkah kita temukan satu  orang di dunia ini yang bebas dari penderitaan fisik dan mental? Tidaklah mungkin. Bahkan mereka yang telah mencapi kesucian sekalipun tidak akan terbebas dari penderitaan fisik selama mereka masih memiliki badan jasmani.  Inilah sebannya Buddha menerangkan bahwa selama ada keinginan untuk menjelma, tidak mungkin bagi seorang untuk lepas dari penderitaan. Keinginan sangat menentukan penjelmaan. Ketika penjelmaan ada, penderitaan tak terelakan. Banyak orang memikirkan untuk mencari kehidupan abadi, namun ironisnya para pencari keabadian merasa hidup ini begitu membosankan sehingga mereka bahkan tak tahu bagaimana melewati suatu hari saja ! Ada pribahasa cina tentang pencarian-manusia akan keabadian, ‘Manusia membodohi diri sendiri. Dia berdoa agar diberi panjang umur, dan takut menghadapi usia tua. Lao Tzu berkata, ‘saya menderita karena saya berwujud. Jika saya idak memiliki wujud fisik, bagaimana saya bisa menderita?’ ‘jika semua pegunungan adalah buku dan jika semua danau adalah tinta serta jika semua pohon adalh pena, mereka tetap tak bisa menggambarkan semua kesengsaraan di dunia.’(Jacab Boehme)
 Mereka menderita karena keinginan kuat untuk menjelma mempengaruhi mereka untuk melakukan perbuatan buruk. Ini adalah penyebab utama dari penderitaan. Telah memakan waktu lebih dari 2500 tahun bagi para filsuf dan ahli psikologi untuk mengerti apa yang Buddha ungkapkan benar adanya. Seorang penyair menganalisis hidu kita seperti ini:
menuju api terbanglah sang ngengat
Tak tahu bahwa ia akan mati
Ikan kecil menggigit umpan
Tak tahu akan bahayanya.
Tetapi walaupun mengerti dengan jelas
Bahaya dai kesenagan-kesenagan duniawi,
Kita tetap melekat pa mereka dengan kuatnya;
Oh betapa besar kebodohan kita.”
Agama Buddha kenjelaskan hidup ini sangat singkat dan kita harus mengupayakan dengan penuh kesadaran, kewaspadaan, dan penuh perhatian untuk keselamatan kita.
            ‘ Manusia tak akan pernah sadar
            Bahwa kita ada untuk memuja
            Tetapi mereka yang mengerti kebenaran sejati ini
            Menghindari penderitaan dan pertikaian’
                                                            (Theragatha)


PENUTUP
Ajaran Buddha didasarkan pada pondasi kokoh dalam Empat Kebenaran Ariya yang dapat di ketahui oleh kita semua. Ajaran ini bukanlah tanpa dasar, yang untuk diterima dengan iman belaka. Mereka berawal dari poros pengalaman langsung seitp manusia yang tidak dapat di sangkal lagi. Penderitaan (dukkha), sesungguhnya bukan disebabkan oleh orang lain akan tetapi diri sendirilah yang menyebabkan adanya penderitaanitu.
Apa yang menyebabkan manusia atau makhluk-makhluk mengalami kelahiaran kembali di dunia ini . hal itu disebabkan oleh karena adanya tanha (nafsu keinginan) yang terlalu berlebihan dan manusia semuanya serba selalu kurang akan apa yang dimilikinya. Karena keiginan yang tidak tercapai atau tidak terpenuhi atau terpenuhi itu yang menyebabkan penderitaan, karena semua itu hanyalah kesenagan sesaat hanya lewat saja. Namun hal yang demikian selalu di kejar dan tanpa mengetahui akan resiko atau bahkan nyawa menjadi taruhanya. Terkadang seseorang memiliki keinginan akan tetapi cara untuk menadapatkannya dengan cara yang salah melakuak pembunuhan, pencurian dan lain sebagainya.
Sesungguhnya jika dalam kehidupan ini selau merasa puas maka kebahagian akan diperoleh yaitu kebahagian duniawai. Namun jika seseorang sadar akan kenyataan hidup ini  bahwa dalam hidup ini selalu mengalami perubahan. Tetapi pada kenyataan pada saat ini sulit untuk menyadari hal itu. Karena pada umumnya selalu ingin dan ingin itulah yng menyebabkan penderitaan.
Mengapa kita mempelajari Buddhisem karena kita mencai hakiknya, akan fenomena hidu ini, jika kita telah mengetahui hakikinya maka kita akank bahagia. Namun jika  kita tidak mengtahui hakiki kehidupan makan kita akan selalu menderita terus-menerus.
Dengan belajar Buddhisem maka kita sedikit demi sedikit akan merubah pola kehidupan ini, dan menyadari setiap saat bahwa hidup ini pasti mengalami perubahan, hidup pasti akan mati, idup pasti menderita. Maka dengan kita paham akan hakikatnya kita tidak akan mengalami permasalahan atau problem yang berlebihan. Namun memanfaatkan waktu dalam hidup ini untuk terus berbuat kebajikan guna untuk menunjang kehidupan-kehidupan selanjutnya. dengan perbuatan bajik yang kita lakukan hal itu akan menunjang kita untuk mencapai pencerahan dan untuk mengatasi penderitaan diri sendiri maupun makhluk lain.        



















Referensi :
Acharn Thate Desaranse. Ven. Dhammacakkapavattana Sutta. Di Wat Hin Mahk Peng, Sri Chiang may Nongkhay, Thailand. Alih bahasa : Dhammavijayo Thera. Club Penyebar Dhamma. Malang Jawa Timur. 5 Juli 1982
Sasanasena Seng Hanseng. Upa . Ikhtisar Ajaran Buddha. Yogyakarta. Cetakan Pertama, Mei 2008.
Sumedho. Ajahn. The Four Noble Turths ( Penderitaan, Akar, Penuntasan, Jalan)
Hye Dhammavuddho. Ven. Ajaran Buddha, Penerbit Dian Dharma.  Yayasan Triyanavardhana Indonesia. Jakarta Barat, edisi Pertama Agustus 2008
Bodhi Dharma. Bhikkhu. Roda Dhamma.  Cetakan pertama.
Majjhima Nikāya 1 diterjemahkan oleh Bhikkhu Ñānamoli dan Bhukkhu Bodhi. Klaten. Edisi Wisak. Mei 2004

K Sri Dhammananda. Dr. You & Your Problems. Vipassana Giri Ratana-Cibinong Gunung Sindur-Bogor. Mei, 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar