DUKKHA
LATAR BELAKANG
Sutta
ini dibabarkan oleh sang Buddha dimana pada saat Sang Buddha merenungkan apakah
Dhamma yang Beliau temukan akan diajarkan kepada khalayak ramai atau tidak.
Sebab Dhamma itu dalam sekali dan sulit untuk dimengerti, sehingga menimbulkan
perasaan enggan dalam diri Sang Buddha untuk mengajarkan Dhamma. Tiba-tiba
Brahma Sahampati, penguasa dunia ini, turun dari Brahmaloka dan berdiri
dihadapan Sang Buddha.
“Semoga
Sang Tathāgatha, demi belas-kasih kepada para manusia, berkenan mengajar
Dhamma. Dalam dunia ini terdapat juga orang-orang yang sedikit di hinggapi
kekotoran batin dan mudah dapat mengerti Dhamma yang akan di ajarkan. Dari
situlah di babarkannya Dhamma Dhammacakkappavattana Suttayang pertama kali oleh
Sang Buddha Gotama, bertepatan pada hari purnama Asalha yang merupakan momen
penting dalam perkembangan agama Buddha. Yang dibabarkan untuk manusia dibumi
yang terjadi di isipatana dekat benares terhadap lima orang pertapa, yaitu
Kondana, Bhaddyia, Vappa, Mahanama,dan Asaji. Yang menjelaskan tentang empat
kesuyataan mulia dan jalan mulia berunsur delapan, karena adanya petapa yang
berpandangan salah dengan cara melakukan petapaan yang extreme yaitu menyiksa
diri untuk itu Buddha menganjurkan untuk tidak menyiksa diri dalam melaksanakan
pertapan karena itu hanyalah tidak bermanfaat bagi perkembangan spiritualnya.
Dengan petapa yang tidak extreme maka akan membawa kebahagian dalam batin dan
lenyaplah kekotoran batin.
1.
Demikianlah telah saya
dengar.
Suatu ketika Sang
Bhagavā bersemayam di Taman Rusa Isipatana dekat kota Bārāṇasī. Saat itulah
Sang Bhagavā memanggil Pañcavagiya-bhikkhu.
2.
“ Para Bhikkhu, ada dua
hal ekstrem yang tidak patut dijalankan oleh mereka yang telah meniggakan rumah
sebagai petapa, yani:
A.
Menuruti kesenangan hawa nafsu, yang rendah, duniawi, yang dilakukan oleh
mereka yang bodoh, yang tidak luhur dan tidak berfaedah,
B.
Melkukan penyiksaaan diri, yang menyakitkan, yang tidak luhur, dan tidak
berfaedah.
O para Bhikkhu, Jalan
tengah (Majjhimā paṭipadā) yang
terhindar dari kedua jalan ekstrem itu, yang telah sempurna diselami oleh
Tathāgata, membuka mata batin, menimbulkan pengetahuan, membawa ketenagan,
pengetahuan batin luar biasa, kesadran agung, dan pencapaian Nibbāna.
Itulah, O para Bhikkhu,
Jalan Tengah yang telah sempurna diselami oleh Tathāgata, yang membuka mata
batin, yang menimbulkan pengetahuan, yang membawa ketenagan, pengetahuan batin
luar biasa, kesadran agung, dan pencapaian Nibbāna.
3.
Inilah, O para Bhikkhu,
Kebenaran Ariya tentang penderitaan (dukkha
ariyasacca), yakni:
Jātipi
dukkhā :
Kelahiran adalah penderitaan,
Jarāpi
dukkhā :
Usia tua adalah penderitaan,
Maraṇampi
dukkhaṁ :
Kematian adalah penderitaan,
Sokaparidevadukkha- :
Kesedihan, ratap-tangis, penderitaan
Domanassupāyāsāpi
dukkhā :
(Jasmani), kepedihan hati, dan keputus-asaan adalah penderitaan,
Appiyehi
sampayogo dukkho :
Berkumpul dengan yang tidak disenangi adalah penderitaan,
Piyehi vipapayogo dukkho :Terpisah dari yang disenangi adalah
penderitaan,
Yampicchaṁ
na labhati tampi dukkhaṁ :Tidak
mendapat apa yang diinginkan adalah penderitaan,
Saṅkhittena
pañcupādānakkhandhā dukkhā :Singkatanya, liam gugusan pembentuk penyebab
kemelekatan adalah penderitaan.
Inilah, O para Bhikkhu,
Kebenaran Ariya tentang asal mula penderitaan (dukkhasamudaya ariyasaccaI), yakni: Kesengan (taṇha) inilah, yang membuat kelahiaran kembali, yang disertai
dengan hawa nafsu dan kegemaran, yang menggemari objek di sana sini, yaitu:
Kāmataṇhā : Kesengan terhadap nafsu indrawi
Bhavataṇhā : Kesengan terhadap kemenjadian
Vibhavataṇhā : Kesengan terhadap ketidak-menjadian
Inilah, O para Bhikkhu,
kebenaran Ariya tentang musnahnya penderitaan (dukkhanirodha ariyasacca), yakni: musnahnya kesengan tersebut tanpa
sisia karena lenyapnya nafsu, terlepasnya kesenangan, tertolaknya kesenangan,
terbebas dari kesenangan, tak terikat oleh kesenangan.
ISI
Dalam
iktisar ajaran Buddha dukkha di bagi menjadi empat atau disebut dengan Catur
Ariya Saccani (Empat Kebenaran Mulia). Namun dalam hal ini membahas tantang Dukkha.
Dukkha (Paḷi) bisa diaratikan dengan (penderitaan),
ketika penderitaan muncul, tidak seorang pun yang dengan mudah bersedia
menerimanya. Kecenderungan orang akan beranggapan bahwa penderitaan ini bukan
milikku, kebhagian adalah miliku. Namun hal, itu justru semakin menjauhkan
orang tersebut dari kedamaian dan malah terus membuatnya menderita. Kemelekatan
(attachment) merupakan salah satu
sifat dari pengumbaran nafsu keinginan. Semakin seseorang melekat pada sesuatu,
semakin sulit pula bagi dia untuk melepaskan diri dari penderitaan dan melihat
kebijaksanaan.
Apakah
kebenaran mulia tentang penderitaan (Dukkha),
dilairkan adalah penderitaan, menua adalah penderitaan, sakit adalh
penderitaan, berpisah dari yang dicintaai ialah
penderitaan: singkatnya dari kelima kelompok unsur dibawah pengaruh
kemelekatan adalah penderitaan. Inilah kebenaran mulia tentang penderitaan,
yakni: penglihatan, pengatahuan, kebijaksanaan, pemahaman dan terang yang terbit dalam diriku mengenai hal
yang belum pernah terdengar sebelumnya. Kebenaran mulia ini harus ditembus
tuntas lewat memahami penderitaan sepenuhnya: demikian pengalihatan,
pengetahuan, kebijaksanaan, pemahaman dan terang yang terbit dalam diriku
menganai hal yang belum pernah terdengar sebelumnya. Kebenaran mulia ini telah
ditembus tuntas lewat memahami penderitaan sepenuhnya: demikianlah penglihatan,
pengatahuan, kebikajsanaan, pemahaman dan terang yang terbit dalam diriku
mengenai hal yang belum pernah terdengar sebelumnya. Samyutta Nikaya L IV, 11.
Penderitaan
atau dukkha adalah ikatan umum yang dialami kita semua. Semua orang dimana-mana
menderita. Manusia menderita di masa lalu, di India kuno; di Inggris modern;
dan di masa depan pun, manusia juga bakal menderita... Apa kesamaannya antara
kita dengan Ratu Elizabeth?-kita sama-sama menderita. Dengan gelandangan di
Charing Cross, apa kesamaan kita?-penderitaan. Penderitaan melingkupi semua
tingkatan manusia dari kelas elit yang paling sitimewa sampai yang rendah dan
tersisih. Semua orang di mana-mana mengalami penderitaan-inilah perikatan
antara kita semua, suatu hal yang kita semua paham.
Kebenaran Mulia
pertama bukanlah pernyataan metafisik yang suram bahwa semua dalam hidup ini
adalah penderitaan. Perhatikan bahwa ada perbedaan antara doktrin metafisik.
Kebenaran adalah sebuah fakta yang untuk direnungkan ; ia bukan sesuatu yang
absolute; bukan kebingungan karena mereka mengartikan kebenaran Mulia ini
sebagai kebenaran metafisik Buddhisme-tetapi ini tak pernah begitu maksudnya.
Menurut buku Four Noble Truths di dalam kata pali,
dukkha, berarti sekedar “tidak mampu memuaskan” atau “tidak mampu menanggung
atau menahan apapun”: selalu berubah, tidak bisa untuk benar-benar memuaskan
atau membahagiakan kita. Demikianlah dunia inderawi, yang hakekatnya hanya
getaran. Namun, tatkala kita sada r akan dukkha, kita pun akan mulai mencari
jalan keluar sehingga kita tak lagi selamanya terperangkap dalam dunia-indrawi
(Sensory consciousness).
Dengan
rumusan kebenaran mulia pertama ini, bahkan kendati misalnya hidup kita memang
cukup malang, namun yang kita amati bukanlah bahwa penderitaan yang berasal
dari luar sana, melainkan adalah apa yang kita ciptakan dalam pikiran kita
sendiri. Ini merupakan keterjagaan (awakening) dalalm diri seseorang.
Keterjagaan pada kebenaran mengenai penderitaan. Dan ini adalah kebenaran Mulia
karena ini tak lagi menyalah kan duka yang kita alami kepada pihak lain. Oleh
karena itu pendekatan Buddhisme sungguh unik di bandingkan agama-agama lain
karena penekanan pada jalan-keluar dari penderitaan dengan menggunakakn
kebijaksanaan (Wisdom), bebas dari segala delusi, dari pada sekedar memburu
sebuauh kenikmatan surgawi atau kemanunggalan dengan Yang Ultimit.
Dalam (DHAMACAKKAPAVATTANA SUTTA), Samyuta Nikaya 56:11, DUKKHA. Fenomena Dukkha
(penderitaan), kesunyataan yang pertama berhubungan dengan Dukkha (penderitaan), disini dijelaskan fenomena dari pada Dukkha yang dapat digolngkan dalam dua
bagian besar yaitu:
1.
SABHAVA-DUKKHA
atau DUKKHA JASMANI
(penderitaan
yang mutlak)
a.
JATIPI DUKKHA (lahir)
b.
JARAPI DUKKHA (Tua/Lapuk)
c.
VYADHIPI DUKHA (Sakit)
d.
MARANAMPI DUKKHA (Mati)
2.
PAKINNA-DUKKHA atau DUKKHA BATIN
(Penderitaan
yang tidak mutlak)
a.
SOKA ( Susah hati/sedih, menyesal)
b.
PARIDEVA (Merintih karena tidak dapat
memutuskan persoaalan)
c.
DUKKHA (Ketidak bahagiaan badan jasmani,
penyakit jasmani)
d.
DOMANASSA ( Berkecil hati/minder)
e.
UPAYASSA (Merana)
f.
SAMPAYOGA (Mendapat sesuatu yang tidak
disukai)
g.
VIPPAYOGA (Berpisah dengan orang/ sesuatu
yang disukai)
h.
ALABHA (Kekecewaan karena tidak
mendapatkan apa yang diinginkan)
Kesemua Dukkha tersebut di atas harus dihadapi karena merupakan Dhamma, bukannya di buang, ditelantarkan
ataupun dilupakan begitu saja. Dukkha ini
tercermin dalam Kelahiran, Ke-Tua-an, Kesakitan, Kematian, dan sebagainya yang
kesemuanya itu berada di dalam diri kita masing-masing dan bukanya berada di
tempat lain. Selain dari itu masih banyak sekali Dukkha-dukkha lain yang kecil dan halus yang tak terhitung
jumlahnya.
PENJELASAN DUKKHA
Dalam Buku
Bhikkhu Dharma Bodhi menjelaskan bahwa. Apakah Penderitaan (Dukha) itu ?
Sang
Sugata berkata bahwa, “hidup ini adalah penderitaan ( dukkha) ! “, apakakah
yang dimaksud dengan penderitaan (dukkha) ?, mengapa ada penderitaan ?, dan
bagaimanakah penderitaan itu terjadi?.
Banyak sekali makhluk atau makhluk
manusiapun tidak memahami apa itu penderitaan (dukkha), jika kita bertanya
apakah anda lelah atau letih setelah bekerja seharian penuh, maka jawabanya terdapat
dua hal.
Hal yang pertama adalah menjawab “
Ya ”, siapakkah yang tidak mengalami lelah atau letih jika ia bekerja seharaian
penuh, belum lagi jika ia didalam pekerjaanya mendapati masalah atau
kesulitan-kesulitan yang di sebabkan oleh diri sendiri atau oleh orang lain,
baik ia rekan kita ataupun atasan kita atau karena lingkungan kerja kita yang
tidak baik, sehingga kita bekerja merasa tidak nyaman atau tidak sesuai dengan
kemampuannya.
Hal yang kedua adalah menjawab “
Tidak ”, karena mereka beranggapan bahwa keletihan atau kelelahan adalah hal
yang biasa, jika bekerja seharian penuh. Apalagi di dalam pekerjaannya mereka
berprestasi atau atasan mereka, maka keletihan itu berubah menjadi kesengannya,
terlebih lagi jika mereka mendapatkan upah dari hasil pekerjaan mereka selama
sebulan masa kerja, adalah hasil yang di tunggu-tunggu.
Apakah kedua hal diatas tersebut
sebagai penderitaan. Pengetahuan akan adanya perihal penderitaan bukanlah kedua
hal di atas tersebut, tetapi jauh lebih mendalam dan amat luas. Begitulah
kehidupan manusia.
Jadi
orang yang berbuat baik dengan maksud dan tujuan untuk mencapai keinginan yang
lainya pasti akan menemukan kelelahan dan ketegangan yang akhirnya menimbulkan
penderitaan, hal ini juga terjadi bagi mereka yang berbuat jahat nilainya akan
sama, inilah yang disebut hidup ini penuh dengan penderitaan.
Jadi
perjalanan hidup kelhiran sekarang dan perjalanan hidup kelahiran terdahulu dan
perjalanan hidup yag kan datang, itulah penderitaan. Tidak ada manusia yang
tidak akan mengalami penderitaan, lahir menjadi dewasa, sedih, tertekan,
stress, depresi, kelelahan, ketegangan, menjadi tua, sakit dan mati, hal ini
juga terjadi pada makhluk hidup yang lainya.
Selam
manusia itu belum memiliki pandangan benar, yaitu pengetahuan sejati maka
manusia itu kan selalu menderita, karena kunci pengetahuan pembebasan belum-lah
di ketahui engan benar. Tilah sebabnya manusia mengalami kelahiran yang
berulang-ulang karena manusia tidak mengetahui penyebab timbulnya keinginan
untuk menjadi. Dalam kelahiran yang berulang-ulang manusia tidak dapat mampu
untuk mengingatnya, bahkan untuk mengrti sekalipun, sudah berapa kalikah
manusia mengalami kelahiran yang berulang-ulang ini. Sebenarnya manusia
mengalami kelahiran yang berulang-ulang ini sudah sangat banyak dan iini
berulang terus menerus. Apakah penyebab kelahiran manusia yang berulang-ulang
itu adalah hawa nafsu (Nafsu keinginan).
Penderitaan (dukha) itu dapat
kita perhatikan bagai mana terjadinya. Perhatikanlah bagaimana pembentukan akan
diri ini terjadi, ketika faktor pengolahan pengetahuan (mental) masak, faktor
penyerapan pengetahuan masak, faktor pengetahuan akan rasa masak, faktor pengetahuan akan masak, faktor
pengetahuan pengendalian masak dan fakotr pengetahuan pengendalian masak dan faktor
wujud masak, yang kesemuanya membentuk satu kesatuan utuh dan solid dan lalu
membentuk existensi baru dan tinggal
pada wujud (badan jasmani), dan badan jasmani memmiliki indera seperti indera
melihat (mata), indera pendengaran (Telinga), indera penciuman (Hidung), indera
perasa (kulit), dan indera pengecap (Lidah) dan satu hal yang cukup berperan
penting adalah faktor mental atau gema suara (pikiran), maka indera-indera iitu
melkukan kontak dengan dunianya, setelah melakukan kontak, maka indera-indera
itu dapat menilai, mengetahui, merasakan, sehingga hal ini tejadi
berulang-ulang, jika hal yang berpengaruh buruk ditinggalkan, namun hal-hal
yang dirasakan menyenangkan akan terus dilakukan, maka timbulah keinginan, jika
badan jasmani merasakan kenikmatan, maka hal itu dijadikan keinginan yang kuat
sampai melekat, dan hal itu terus dipertahankan, meskipun menderita, sehingga
kemelekatan itu berwujud, akhirnya makhluk manusia ini harus mengalami
penderitaan yaitu lahir, menjadi tua, sakit dan akhirnya mati dan terjadilah
tumimbal lahir yang terus menerus, inilah penderitaan (dukha).
PENYEBAB TIMBULNYA DUKKHA
Kebenaran Ariya pertama yang diplomamirkan oleh
Buddha, yaitu : “Segala keberadaan diliputi oleh dukkha.”
Dukkha secara literal berarti ‘
sulit untuk dipikul’ dan sering diterjemahkan sebagai ketidakpuasan atau
penderitaan atau kesengsaraan. Ia mencakup semua arti tersebut dan karena
kuarang bisa diterjemahkan secara persis (pas) kita tetap menggunnnakan kata ‘Dukha’, yang makna atau artinya akan
menjadi lebih jelas dibawah ini.
Keberadaan menunjukkan hadirnya
kehidupan yang berarti hadirnya kekuatan yang hidup atau energi. Energi
menyiratkan gerakan, perubahan, dan ketidaktetapan. Dengan demikian, karena
gerakan dan perubahan, yaitu ketidakabadian, semua makhluk hidup merupakan
subjek dari proses keahiaran, usia tua, kesakitan (penyakit) dan kematian yang
terus-enerus.
Aspek pertama dari dukkha adalah kelahiaran merupakan
dukkha-bayi mengalami ketidaknyamanan dan terguncang-guncang ketika berada di
dalam rahim dan keluar dari rahim (lahir) ke dunia merupakan suatu kejutan yang
mendadak pula. Usia tua adalah dukkha,
Penyakit adalah dukkha, kematia
adalah dukkha. Tidak ada makhluk yang
hidup abadi. “semua yang meuncul adalah subjek dari kehancuran (kemusnahan)”
merupakan ajaran dasar dari Buddha.
Selain itu, dikarenakan oleh
perubahan yang konstan, pasti terjadi perpisahan dengan orang—orang yang
dicintai-ini adalah dukkha. Ataupun
berkumpul dengan musuh-musuh juga merupkan dukkha.
Makhluk-makhluk hidup sesungguhnya
tidak tenteram, kita tidak dapat mempertahankan postur tubuh kita yang mana pun
untuk jangka waktu yang lama-apakakh itu berdiri, berjalan, duduk, atau
tidur-dan secara teru-menerus harus mengubah postur ini juga dukkha. Merapati masa lalu adalah dukkha. Khawatir tentang masa depan
adalah dukkha. Tidak memperoleh apa
yang dinginkan adalah dukkha memperoleh
apa yang diinginka, tetapi tidak cukup banyak adalah dukkha. Memperoleh apa yang diinginkan, tetapi tidak cukup lama
adalah dukkha.
BAHAYA,
KEBODOHAN DAN KEJAHATAN KENIKMATAN-KENIKMATAN SEKSUAL
BAHAYA
Melekat kapada
kenikmatan-kenikmatan seksual adalah kecenderungan untuk semakin lama semakin
terikat padanya. Nyala api nafsu-nafsu keinginan merangsang dan mereka bahkan
semakin meningkat dan bukannya menjadi reda. Kenikmatan-kenikmatan seksual
tidak tersedia secara permanen,tetapi akan berakhir pada suatu hari ketika
berkah-berkah seseorang telah habis digunakan.
KEBODOHAN
Kebodohan atau kesia-siaan kenikmatan-kenikmatan
seksual adalah nafsu keinginan akan kenikmatan-kenikmatan seksual tidak dapat di puaskan.
Makhluk-makhluk hidup yang tenggelam dalam kenikmatan-kenikmatan seksual
memandang kehidupan hanya sebagai hal yang menyenagkan (merujuk kepada makhluk-makhluk
surgawi.mereka tidak mengetahui bahwa ada alam-alam kelahiran kembali yang
menyedihkan sedang menanti mereka; mereka tidak melihat pentingnya mengusahakan
berkah berkah (dengan melakukan kebajikan dan menghindarai kejahatan) atau
berjuang untuk keluar dari siklus kehidupan (Samsara); sebagai gantinya, mereka terus menghabiskan berkah-berkah
yang telah mereka peroleh dari kehidupan lampau hingga suatu hari ketika pahala
mereka habis terpakai, mereka akan jatuh dari surge kea lam-alam keidupan yang lebih
rendah.
KEJAHATAN
Kebejatan kenikmatan-kenikmatan
seksual adalah bahwa ia mrupakan suatu ‘penyakit’. Dalam Magandiya Sutta tentang makhluk-makhluk hidup yang terjangkit
penyakit seperti lepra/kusta. Luka-luka pada tubuhnya erasa sangat gatal
sehingga dia harus menggaruk-garuknya sampai berdarah, infeksi, dan berbau
busuk.
Sesungguhnya, kata Buddha,
seperti itulah makhluk-makhluk hidup mereka terjangkiti penyakit keinginan akan kenikmatan-kenikmatan seksual dan
mencarinya untuk memuaskan diri mereka sendiri. Oleh karena itu, mereka terus
terbakar oleh nyala api hawa nafsu, tidak mengakui (mengenali) kesakitan dan
penderitaan yang mereka alami.
Karena nafsu-nafsu keinginan
muncullah pertengkaran, perkelahian, dan pembunuhan, bahkan gagasan untuk
berperang yang menyebabkan pembunuhan massal yang tiada gunanya terhadap,
makhluk-makhluk hidup yang terhitung jumlahnya. Disebabkan oleh
perbuatan-perbuatan jahat seperti itu, mereka kembali di alam derita. Kesakitan
dan penderitaan seperti itu yang dialami oleh makhluk-makhluk hidup.
Dalam Cūḷadukkhakkhandha Sutta
mengenai pertanyaan Mahānāma keserakahan
adalah ketidak sempurnaan yang mengotori pikiran, kebencian adalah ketidak
sempurnaan yang mengotori pikiran, kebodohannbatin adalah ketidaksempurnaan
yang mengotori pikiran.’
Mahānāma, memang masih ada
keadaan yang belum ditinggalkan olehmu secara internal, yang menyebabkan
terkadang keadaan-keadaan keserakahan, kebencaian, dan kebodohan batain
menyerbu pikiranmu dan tinggal di sana; karena seandainya keadaan itu telah
ditinggalkan olehmu secara internal, maka engkau tidak akan menikmati
kesenangan-kesenangan indera. Justru karena keadaan itu belum ditinggalkan
olehmu secara internallah maka engkau menjalai kehidupan berumah-tangga dan
menikmati kesenagan indra.
Dan apakah pemuasan dalam hal
kesenagan indera?, ada lima tali kesengan indera ini juga merupakan bahaya di
dalam hal kesenagan indera, suatu masa penderitaan di dalam hal kesengan
indera, suatu massa penderitaan di dalam kehidupan yang akan datang, yang
memiliki kesengan indera sebagai penyebabnya, kesengan indera sebagai
sumbernya, kesengan indera sebagai landasanya, penyebanya dalah kesengan
indera.
Dapatkah kita temukan satu orang di dunia ini yang bebas dari
penderitaan fisik dan mental? Tidaklah mungkin. Bahkan mereka yang telah
mencapi kesucian sekalipun tidak akan terbebas dari penderitaan fisik selama
mereka masih memiliki badan jasmani.
Inilah sebannya Buddha menerangkan bahwa selama ada keinginan untuk
menjelma, tidak mungkin bagi seorang untuk lepas dari penderitaan. Keinginan
sangat menentukan penjelmaan. Ketika penjelmaan ada, penderitaan tak terelakan.
Banyak orang memikirkan untuk mencari kehidupan abadi, namun ironisnya para
pencari keabadian merasa hidup ini begitu membosankan sehingga mereka bahkan
tak tahu bagaimana melewati suatu hari saja ! Ada pribahasa cina tentang
pencarian-manusia akan keabadian, ‘Manusia membodohi diri sendiri. Dia berdoa
agar diberi panjang umur, dan takut menghadapi usia tua. Lao Tzu berkata, ‘saya
menderita karena saya berwujud. Jika saya idak memiliki wujud fisik, bagaimana
saya bisa menderita?’ ‘jika semua
pegunungan adalah buku dan jika semua danau adalah tinta serta jika semua pohon
adalh pena, mereka tetap tak bisa menggambarkan semua kesengsaraan di
dunia.’(Jacab Boehme)
Mereka menderita karena keinginan kuat untuk
menjelma mempengaruhi mereka untuk melakukan perbuatan buruk. Ini adalah
penyebab utama dari penderitaan. Telah memakan waktu lebih dari 2500 tahun bagi
para filsuf dan ahli psikologi untuk mengerti apa yang Buddha ungkapkan benar
adanya. Seorang penyair menganalisis hidu kita seperti ini:
“menuju api terbanglah sang ngengat
Tak
tahu bahwa ia akan mati
Ikan
kecil menggigit umpan
Tak
tahu akan bahayanya.
Tetapi
walaupun mengerti dengan jelas
Bahaya
dai kesenagan-kesenagan duniawi,
Kita
tetap melekat pa mereka dengan kuatnya;
Oh
betapa besar kebodohan kita.”
Agama Buddha kenjelaskan hidup ini sangat singkat
dan kita harus mengupayakan dengan penuh kesadaran, kewaspadaan, dan penuh
perhatian untuk keselamatan kita.
‘ Manusia tak akan pernah sadar
Bahwa kita ada untuk memuja
Tetapi mereka yang mengerti
kebenaran sejati ini
Menghindari penderitaan dan
pertikaian’
(Theragatha)
PENUTUP
Ajaran Buddha didasarkan pada pondasi kokoh dalam
Empat Kebenaran Ariya yang dapat di ketahui oleh kita semua. Ajaran ini
bukanlah tanpa dasar, yang untuk diterima dengan iman belaka. Mereka berawal
dari poros pengalaman langsung seitp manusia yang tidak dapat di sangkal lagi.
Penderitaan (dukkha), sesungguhnya
bukan disebabkan oleh orang lain akan tetapi diri sendirilah yang menyebabkan
adanya penderitaanitu.
Apa yang menyebabkan manusia atau makhluk-makhluk
mengalami kelahiaran kembali di dunia ini . hal itu disebabkan oleh karena
adanya tanha (nafsu keinginan) yang terlalu berlebihan dan manusia semuanya
serba selalu kurang akan apa yang dimilikinya. Karena keiginan yang tidak
tercapai atau tidak terpenuhi atau terpenuhi itu yang menyebabkan penderitaan,
karena semua itu hanyalah kesenagan sesaat hanya lewat saja. Namun hal yang
demikian selalu di kejar dan tanpa mengetahui akan resiko atau bahkan nyawa
menjadi taruhanya. Terkadang seseorang memiliki keinginan akan tetapi cara
untuk menadapatkannya dengan cara yang salah melakuak pembunuhan, pencurian dan
lain sebagainya.
Sesungguhnya jika dalam kehidupan ini selau merasa
puas maka kebahagian akan diperoleh yaitu kebahagian duniawai. Namun jika
seseorang sadar akan kenyataan hidup ini
bahwa dalam hidup ini selalu mengalami perubahan. Tetapi pada kenyataan
pada saat ini sulit untuk menyadari hal itu. Karena pada umumnya selalu ingin
dan ingin itulah yng menyebabkan penderitaan.
Mengapa kita mempelajari Buddhisem karena kita mencai
hakiknya, akan fenomena hidu ini, jika kita telah mengetahui hakikinya maka
kita akank bahagia. Namun jika kita
tidak mengtahui hakiki kehidupan makan kita akan selalu menderita
terus-menerus.
Dengan belajar Buddhisem maka kita sedikit demi
sedikit akan merubah pola kehidupan ini, dan menyadari setiap saat bahwa hidup
ini pasti mengalami perubahan, hidup pasti akan mati, idup pasti menderita.
Maka dengan kita paham akan hakikatnya kita tidak akan mengalami permasalahan
atau problem yang berlebihan. Namun memanfaatkan waktu dalam hidup ini untuk
terus berbuat kebajikan guna untuk menunjang kehidupan-kehidupan selanjutnya.
dengan perbuatan bajik yang kita lakukan hal itu akan menunjang kita untuk
mencapai pencerahan dan untuk mengatasi penderitaan diri sendiri maupun makhluk
lain.
Referensi :
Acharn
Thate Desaranse. Ven. Dhammacakkapavattana Sutta. Di Wat Hin Mahk Peng, Sri
Chiang may Nongkhay, Thailand. Alih bahasa : Dhammavijayo Thera. Club Penyebar
Dhamma. Malang Jawa Timur. 5 Juli 1982
Sasanasena Seng Hanseng. Upa . Ikhtisar
Ajaran Buddha. Yogyakarta. Cetakan Pertama, Mei 2008.
Sumedho. Ajahn. The Four Noble
Turths ( Penderitaan, Akar, Penuntasan, Jalan)
Hye
Dhammavuddho. Ven. Ajaran Buddha, Penerbit Dian Dharma. Yayasan Triyanavardhana Indonesia. Jakarta
Barat, edisi Pertama Agustus 2008
Bodhi Dharma. Bhikkhu. Roda
Dhamma. Cetakan pertama.
Majjhima
Nikāya 1 diterjemahkan oleh Bhikkhu Ñānamoli dan Bhukkhu Bodhi. Klaten. Edisi
Wisak. Mei 2004
K
Sri Dhammananda. Dr. You & Your Problems. Vipassana Giri Ratana-Cibinong
Gunung Sindur-Bogor. Mei, 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar